(Lagi) Tentang Ketulusan dan Keikhlasan

Tidak jauh dari rumah kami ada sepetak tanah milik pengembang yang belum dimanfaatkan. Kami sendiri tidak tahu untuk apa nantinya sepetak tanah itu. Berdasarkan hasil musyawarah warga satu RT, kami sepakat untuk mendirikan ruang serba guna di atasnya. Selain nantinya dapat digunakan untuk tempat pertemuan warga juga bisa untuk tempat anak-anak kami mengaji di sore hari, karena selama ini mereka berpindah-pindah tempat untuk mengaji. Kebetulan juga ada seorang tetangga yang arsitek bersedia merancangnya. Alhamdulillah dengan cara swadaya berdirilah bangunan sederhana itu.

Sore ini sepulang kerja, seperti biasa terdengar suara anak-anak yang sedang belajar membaca Al-Qur’an. Usia mereka beragam dari 3 tahun sampai 11 tahun. Ada yang baru belajar mengenal huruf hijaiyah, tapi ada juga yang sudah lancar membaca Qur’an. Fajar, anak pertamaku memang baru beberapa hari ini bergabung dengan mereka, itupun atas kemauannya sendiri. Kebetulan sedang ada kakek dan neneknya di rumah. Sepertinya belajar bareng-bareng temannya lebih mengasyikkan.

Sudah beberapa hari ini aku perhatikan guru ngaji anakku itu. Namanya Yuyun, usianya menurut perkiraanku baru belasan tahun. Pembawaannya sangat sederhana, selalu ramah kepada setiap orang yang dijumpainya. Tempat tinggalnya bukan di dalam kompleks perumahan kami, tapi di perkampungan yang berbatasan dengan perumahan. Melihat usia dan banyaknya anak-anak yang harus diajarinya, ada perasaan kagum dengan kesabarannya menyampaikan ilmu yang dia miliki. Kebayang kan anak seusia 3 tahun, bagaimana tingkah mereka. Belum lagi yang usianya lebih besar dengan keisengan mereka.

Yang lebih mengagumkan lagi, bu Yuyun nggak pernah mau dibayar untuk jerih payahnya itu. Dia selalu bilang, ‘Saya hanya ingin adik-adik ini belajar Qur’an, Bu’. Subhanallah, rupanya Allah hari ini telah mengingatkan aku melalui bu Yuyun, guru ngaji anakku akan ketulusan dan keikhlasan. Tentu saja bu Yuyun lebih memilih keuntungan yang akan didapat dalam ‘perniagaannya’ dengan Allah dibandingkan dengan keuntungan materi semata. Di saat ABG lain hidup dalam sendau-gurau dan permainan yang tak berguna, dia memilih mengajar mengaji anak-anak penerus generasi. Dalam hati aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Allah selalu memudahkan setiap langkahnya.