Yang Terindah dari Yakumo

Udara pagi meyeruak menembus dinginya subuh. Penerangan dari beberapa rumah yang terlewati tampak masih gelap dengan penghuni yang mungkin masih terlelap. Bergegas kaki berlari kecil sambil merapatkan mukena putih yang dikenakan, menahan derunya angin di musim dingin. Menuju apartemen yang berada di depan tempat tinggal, diikuti derap langkah suami di samping.

Shalat subuh berjamaah secara bergilir, merupakan aktivitas rutin yang diikuti setelah pindah ke tempat baru di daerah Yakumo. Ada kebahagiaan yang sulit digambarkan, berkumpul bersama tetangga muslim di waktu subuh, shalat berjamaah, di antara para tetangga Jepang yang mungkin masih berada di alam mimpi.

***
Memutuskan pindah ke daerah Yakumo, sempat membuat kekhawatiran tersendiri. Mengingat daerah tersebut berada di kawasan kota besar – Tokyo, dengan orang-orang yang masih kental sikap individunya serta harga barang-barang kebutuhan yang tinggi sebagai imbas dari sebuah kota metropolitan. Tentu kondisi ini akan berbeda dari tempat tinggal sebelumnya – Mabashi, sebuah desa kecil yang masih menyisakan keramahan dengan harga barang yang tak terlampau membumbung tinggi.

Namun, ada satu alasan yang membuat tekad bulat untuk pindah. Di tempat baru, Insya Allah saya akan bertetangga dengan tiga keluarga muslim Indonesia. Satu keinginan yang selama ini kadang hanya terlintas dalam benak. Memiliki tetangga muslim, apalagi bertanah air yang sama, tentu akan lebih menyemarakan kehidupan bertetangga. Di mana selain akan hadir senyum, sapa dan salam, akan hadir pula rasa persaudaraan yang erat. Sesuatu yang langka ditemui, selama tinggal di Jepang ini.

Dan hal tersebut memang terbukti. Di hari pertama pindah, ketika malam mulai merambat gelap dan tumpukan kardus barang belum sempat dibongkar, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. Satu orang tetangga Indonesia yang tinggal di apartemen depan, bersama ‘si kecilnya’, datang membawakan semangkuk sup hangat. Dengan senyum ramahnya, beliau menawarkan bantuan jika diperlukan.

Belum lama tetangga pertama berlalu, dua keluarga tetangga Indonesia lainnya, datang bergiliran sambil membawa nampan berisi berbagai macam hidangan. "Khawatir belum sempat membuat makan malam, " begitu ucapnya disertai senyuman ramah.

Hari itu, rasanya mata saya dan suami tanpa sadar dibuat berkaca-kaca dipenuhi rasa haru. Ada berjuta kebahagiaan yang menyesakan dada. Suatu awal yang indah, betapa kehangatan bertetangga mulai kami rasakan.

Di hari-hari selanjutnya, saya mulai berusaha mengenal tetangga satu apartemen di samping kanan kiri. Yang secara umum, kondisi bertetangga di tempat baru hampir sama dengan kondisi bertetangga di tempat lama. Senyum dan tegur sapa hanya diberikan ala kadarnya, setelah itu para tetangga, khususnya yang berwarga Jepang akan berkutat dengan kesibukannya sendiri, tak banyak bicara.

Sedangkan dengan para tetangga keluarga muslim, semakin hari semakin terasa kehangatannya. Tak hanya berupa makanan, saya pun banyak mendapatkan barang-barang ‘warisan’ berupa peralatan rumah tangga ataupun informasi bermanfaat. Mulai dari informasi supermarket terdekat, tempat belanja murah, sampai hal yang kecil berupa jadwal pembuangan sampah pun tak luput dari informasi yang disampaikan.

Sesekali, ketukan pintu di malam hari, dengan semangkuk hidangan hangat disertai senyuman ramah, masih tetap terdengar sebagai bagian dari silaturahim.

***
"Betahkan di tempat yang baru?" Jika ada yang bertanya demikian, saya akan langsung menjawab, "Alhamdulillah, betah." Tidak hanya betah, lebih dari itu, saya merasakan adanya keindahan. Di mana tetangga yang ada kini lebih bervariasi, muslim dan non muslim.

Dua hak harus mulai saya perhatikan, yaitu hak antar tetangga dan hak antar sesama muslim. Agar antar tetangga yang berbeda budaya serta latar belakangnya, tidak menyisakan cerita yang dipenuhi rasa saling menyakiti, saling curiga. Yang ada hanyalah cerita rasa saling menghormati, saling bekerjasama yang melahirkan cinta kasih antar sesama.

Di antara berbagai keindahan di tempat baru, ada yang terindah dari Yakumo yang kini tengah dirasakan. Yakni, saya bersama suami memiliki waktu ‘emas, ‘ dapat mengikuti shalat subuh berjamaah bersama keluarga muslim lainnya. Bergilir per minggu, dari satu kamar apartemen ke kamar apartemen lainnya. Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pembacaan Riyadhus Shalihin, hingga diakhiri diskusi singkat dari para bapak yang kebagian memberikan kultum.

Satu waktu berharga yang tidak bisa terbeli dengan harga nominal sebesar apapun. Menyapa waktu subuh dengan berjamaah. Mengawali hari penuh berkah, rahmat dan pahala dengan berkumpul bersama di waktu fajar, berzikir dan mengingat Allah.

Semoga, Allah selalu memberikan hidayahNya. Agar dapat terus menjaga waktu paling berharga, Subuh, untuk berkumpul bersama melaksanakan shalat berjamaah. Sebagai bagian terindah dalam mengawali kegiatan.

Wallahu`alam bisshowab.

Sepenggal catatan aishliz et FLP Jepang.