Paniknya Kekuasaan Menurut Al-Quran

Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di laut Merah (Red Sea?).  Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk?  Kapan dan kenapa Tsamud binasa? Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zholim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya?

Al-Quran memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zholim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzholimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi.

Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia.

Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justeru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan “al-istidraaj”. Fir’aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah.

Tenggelamnya Fir’aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apapun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya.

Karakter Fir’aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi.

Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang “mahzluumiin” (terzholimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta’yiid (penguatan) dan “nashrun” (pertolongan) untuk mereka.

Hal yang harusnya disadari oleh semua kalangan adalah bahwa kezholiman penguasa terhadap rakyat kecil adalah jalan kebencanaan yang besar bagi sebuah bangsa. Karena rakyat adalah “ra’iyah” (terjaga atau terlindungi) yang seharusnya memang dijaga, digembala, diurus, diperhatikan. Bukan ditekan, disemena-semenakan, dan ditelantarkan demi kelanggengan kekuasaan itu sendiri.