Banjir Jakarta: dari Zaman Tarumanegara, Hindia Belanda, hingga Era Anies Baswedan

Zaenuddin HM dalam Banjir Jakarta (2013), menuliskan jika banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Tarumanegara, tepatnya saat Raja Purnawarman memimpin kerajaan tersebut pada abad ke-5.

Berikut sejarah banjir di Jakarta:

Banjir Jakarta di Zaman Kerajaan Tarumanegara

Prasasti Tugu yang ditemukan pada 1878 di Jakarta Utara menjadi bukti otentik jika banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Kerajaan Tarumanegara.

Secara garis besar, prasasti tersebut berisikan pesan jika Raja Purnawarman pernah menggali Kali Chandrabhaga di daerah sekitar Bekasi dan Kali Gomati atau yang sekarang dikenal sebagai Kali Mati di Tangerang. Penggalian tersebut merupakan upaya mengatasi banjir.

Sungai yang digali tersebut diharapkan bisa mengalirkan debit air, sehingga banjir di Jakarta kala itu bisa segera surut. Selain itu, penggalian kali ini juga ditujukan untuk kepentingan irigasi sawah warga.

Banjir Jakarta pada 1621

Jakarta pada masa kolonial Belanda dikenal dengan sebutan Batavia. Saat itu, sebagian besar daerah Batavia masih berupa rawa dan hutan liar, sehingga sering tergenang banjir dari air beberapa sungai, terutama Kali Ciliwung yang meluap saat hujan deras.

Banjir Jakarta pada 1621 merupakan banjir pertama di era kekuasaan VOC di Nusantara, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.

Saat itu banyak rumah warga yang terbuat dari kayu sehingga mudah hanyut ketika banjir melanda Batavia. Struktur jalannya pun masih belum beraspal sehingga sangat sulit untuk dilalui sepeda atau dokar.

Sebenarnya, Belanda sudah pernah membangun kanal sejak dua tahun sebelum bencana banjir ini terjadi. Namun, usahanya gagal karena Belanda tidak mengetahui letak geografis dan struktur topografi Jakarta kala itu.

Banjir Jakarta pada 1654

Saat Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker memimpin Batavia kala itu. Banjir besar kembali melanda Batavia. Penyebabnya karena hujan deras dan luapan air sungai, terutama Kali Ciliwung dan kiriman air dari hulu di Bueitenzorg atau Bogor.

Kanal yang tersumbat oleh pasir membuat kanal tidak berfungsi saat banjir melanda. Joan Martsuycker telah membangun beberapa kanal tambahan, namun usahanya gagal karena kanal selalu dipenuhi sampah, lumpur dan pasir.

 

Banjir Jakarta pada 1872

Banjir kembali melanda Batavia pada 1872, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal James Louden. Penyebabnya sama, yakni hujan deras dan luapan air sungai.

Kanal kembali tidak bekerja, karena selalu tersumbat sampah, tanah, lumpur dan pasir. Upaya pembersihan kanal sering dilakukan, namun tetap tidak membantu karena kotoran lumpur yang dibersihkan tetap dibiarkan menumpuk di tepi kanal.

Banjir Jakarta pada 1893

Batavia kembali dilanda banjir pada 1893, tepatnya saat Gubernur Jenderal Carel HA van der Wijck memimpin. Penyebabnya yakni curah hujan yang sangat tinggi.

Banjir besar yang melanda Batavia saat itu awalnya hanya menggenangi beberapa daerah saja. Namun, hujan terus mengguyur hingga hampir seluruh daerah Batavia tergenang banjir.

Bencana banjir yang hampir melanda sebulan penuh ini telah merenggut banyak korban jiwa. Karena banyak warga Batavia yang terserang penyakit, seperti disentri, tifus bahkan malaria.