Riset Ilmuwan Asing: Ini Perbedaan Otak Muslim, Otak Atheis, dan Biksu

Selain metode tersebut, penelitian juga didasarkan pada tes pencitraan nuklir, yang menggunakan zat radioaktif dan kamera khusus untuk mengamati bagaimana organ bekerja dengan membuat gambar 3D.

Berdasarkan hasil, setelah melakukan pemindaian doa, lobus frontal biarawati, bersama dengan pusat bahasa, menunjukkan tingkat aktivitas yang meningkat. Meningkatnya aktivitas lobus frontal, yang bertanggung jawab atas perhatian dan percakapan itu menunjukkan, ketika seseorang berdoa, mereka sedang melakukan percakapan dengan Tuhan yang menyerupai percakapan fisik.

Dengan kata lain, hanya dengan mengamati pemindaian, orang dapat dengan mudah bingung bahwa berbicara kepada Tuhan sama dengan berbicara kepada seseorang di dunia fisik. Kedua percakapan tersebut, menurut pemindaian SPECT, tidak dapat dibedakan.

Menurut Newberg, ini karena konsentrasi penuh di otak selama doa dan meditasi menghalangi masukan sensorik dan kognitif dari luar. Oleh karenanya, hal itu menyebabkan penurunan aktivitas area orientasi.

Berbeda halnya dengan pemindaian sebelum dan sesudah ateis bermediasi serta merenungkan keberadaan Tuhan, tak ada yang menunjukkan tingkat aktivitas korteks frontal otak yang sama. Bahkan, tidak ada perbedaan relatif antara pemindaian otak yang dilakukan sebelum dan sesudah meditasi.

Lebih jauh, penelitian juga bertujuan membuktikan tidak percaya pada Tuhan akan membuat meditasi tidak memberi perbedaan. Bahkan, peningkatan tingkat aktivitas juga akan sama, berbeda halnya dengan orang yang percaya Tuhan dan beriman. Hal itu, dikarenakan ateis tidak membayangkan Tuhan dan mengenalinya.

Dalam kesimpulan penelitian itu disebutkan, ketika orang percaya dan menggambarkan perasaan kepada Tuhan, deskripsi mereka bukan khayalan, tetapi realitas fisik. Karenanya, siapa pun yang mengklaim Tuhan hanya ada di otak, itu karena otaklah yang mengkristalisasi realitas.

سَنُرِيهِمْ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلْءَافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ

“Sanurīhim āyātinā fil-āfāqi wa fī anfusihim ḥattā yatabayyana lahum annahul-ḥaqq, a wa lam yakfi birabbika annahụ ‘alā kulli syai`in syahīd.”

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Rol)