Curiga, Istri tak Boleh Mematai-matai Suami?

Dari Jabir beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang orang yang pulang dari perjalanan jauh untuk mendatangi keluarganya di malam hari dengan tiba-tiba karena menyangka mereka berkhianat atau untuk mencari (memergoki) kesalahan-kesalahan mereka.” (HR. Muslim, no. 715)

Sebaliknya saling percaya dan berbaik sangka (husnuzhan) di antara pasangan akan membuat rumah tangga harmonis. Lebih baik mendoakan pasangan hidup agar dijauhkan dari dosa dan maksiat. Seorang wanita bercerita bahwa ia pernah memata-matai suaminya, dan selama itu dia merasakan kegundahan. Saat mendengar bahwa hal itu dilarang agama, dia meninggalkannya dan mendoakan kebaikan untuk suaminya. Maka kehidupan rumahtangganya menjadi harmonis dan bahagia.

Namun jika tanpa tajassus ada bukti meyakinkan yang sampai ke istri tentang perselingkuhan suami, hendaknya istri menempuh jalan yang disyariatkan berupa nasihat dan islah melalui orang yang ditokohkan di keluarga atau pengadilan. Jika upaya-upaya ini tidak membuahkan hasil, istri bisa mengajukan talak atau khulu.

Polisi boleh memata-matai orang yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan atau menyelamatkan masyarakat dengan menangkap orang tersebut. Harus ada alasan kuat untuk memata-matai, dan polisi tidak boleh memata-matai rakyat yang tidak bersalah.

Tidak boleh mencari-cari aib orang lain pada barang-barang yang dimilikinya seperti ponsel atau komputer. Namun jika tanpa tajassus kita menemukan file yang tidak dibolehkan syariat di ponsel teman kita, atau ada laporan bahwa teman kita menyimpan file tersebut, hendaknya ia dinasihati agar takut kepada Allah dan menghapusnya.

Demikian pula para orang tua dan guru, jika tanpa tajassus mendapati bahwa anak-anak dan murid-murid mereka menyimpan barang-barang atau file yang diharamkan, hendaknya segera menasihati dan mengarahkan mereka, sebelum api membesar dan tidak bisa dikendalikan lagi. Sebagian Ulama berpendapat, boleh untuk sesekali memeriksa ponsel atau komputer mereka untuk pendidikan, bukan untuk membongkar aib dan kesalahan mereka. Hal itu sebaiknya dilakukan depan mereka, tidak secara diam-diam. (Inilah)

Wallahu Alam.

Disalin dari majalah As-Sunnah/Ustaz Anas Burhanuddin MA