Jokowi dan DIlema Kasus Hukum Ahok

Eramuslim.com – Dari seminar Kasus Ahok di Rumah Aspirasi Rakyat (RAR) kemarin siang, dan langkah-langkah Presiden Jokowi, memberikan gambaran keadaan kian rawan. Sementara Presiden beranjangsana ke Kopassus, issu demo tanggal 25 November 2016 yang dikemukakan Prof Din Syamsuddin di forum MUI pada hari yang sama, memunculkan paradoks yang kian mengeras.

Dapat dipahami. Hukum adalah pisau bermata dua: jika Ahok menang, maka arah berbalik, MUI niscaya menjadi tersangka. Jika Ahok kalah, maka Presiden Jokowi ikut kalah. Padahal pemeonya, megara tak boleh kalah terhadap kaum demonstran!

Jika mau sederhana, Presiden dapat mengambil contoh Tiananmen. Demonstran dihadapakan kepada motor tank. Selesai. Atau seperti Amir Biki, panser disiapkan dan selesai.

ahok-jokowi-tni-1Anjangsana Presiden ke ormas Islam dan kepada Kopassus membentuk pesan baru: demonstran akan berhadapan dengan dirinya sendiri plus tentara elit.

Apakah kaum demonstran dapat dihalau dengan cara klasik itu? Pengalaman sepanjang Orde Baru bisa. Kuncinya adalah kemampuan militansi militer. Ini yang meragukan. Sebab, selama reformasi, militer sudah tak kunjung berlatih menembaki rakyat.

Dari presentasi Panglima TNI di ILC beberapa hari lalu, yang menghindari materi dalam negeri menunjukkan militer tak bernafsu untuk ikut serta menghadapi kaum demonstran. Jenderal Gatot Nurnantio lebih fokus kepada ancaman kedaulatan negara menghapi politik OBOR (on belt on road) one China dan FPDA (Five Power Defense Arrangement – pakta pertahanan lima (5) negara Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore).

Presentasi Jenderal Gatot subtansinya adalah geo politics dan geo strategic. Harus dipahami bahwa Indonesia dikepung oleh OBOR dan FPDA adalah tupoksi militer. Artinya militer tak punya domain berpartisi kepada kedaulatan sipil, walau disebut sebagai kedaulatan negara. Sikap ini yang menarik bagi demonstran dan memunculkan pesan Jenderal Gatot pantas menjadi presiden.

Jenderal Gatot sudah membatah rumor itu. Itu satu. Kedua, melibatkan militer tak boleh terjebak penyederhanaan masalah seolah-olah jika militer berada di belakang demonstran, akan tercapai idealisasi demokrasi liberal ini.

Ketiga, jika militer dilibatkan, dan tipologi militernya Pretorian 1, demokrasi dapat lebih baik. Ada tiga tipe militer dalam kajian. Pretorian 1, militer mengambil alih kekuasaan untuk diserahkan kepada sipil. Peran militer di situ untuk menyelamatkan negara dari sipil korup, tak mampu, atau berkhianat.

Tipolog Pretorian 2, militer bersama rakyat mengambil alih kekuasaan untuk kemudian dibagi kepada sipil. Tipologi 3, militer mengambil alih kekuasaan untuk dirinya. Yang terakhir ini Orde Baru (MHT, 2014).

Aspek lainnya, dalam kajian, jika militer berpadu dengan gerakan agamawan, niscaya akan tercapai tujuan mengambil alih kekuasaan. Sebab, baik kekuatan militer maupun kekuatan agama adalah tipologi kekuatan fasisme. Fakta sejarah menunjukkan kerjasama kekuatan fasis senantiasa sukses mengambil alih kekuasaan. Pada coup de etat Erdogan, karena militer tak mampu bekerjasama dengan kekuatan agamawan.

Pada 2511 yang direncanakan, akan sukses jika unsur kekuatan fasisme bergabung.

Saya tak berharap itu terjadi, namun pula berharap terjadinya perbaikan kondisi kekuasaan negara yang dikooptasi triumvirat asing – aseng – asong.

Aspek Hukum

Kemarin siang di RAR saya diminta Jenderal (purn) Prijanto-sebagai tuan rumah seminar itu-untuk menyimpulkan pendapat paran pakar hukum pidana dalam kasus Ahok. Mereka Prof Syaiful Bachri, DR Nasrullah, DR Margarito Kamis (tata negara), dan Ahmad Yani SH, MH.

Dari perspektif pasal 156 A, sudah cukup dua bukti permulaan. Delik ini adalah delik formil. Sederhananya, tindakan menjadi kejahatan hanya karena disebut oleh UU. Syaratnya sudah “selesai”, terpenuhinya unsur delik. Dengan demikian tidak diperlukan ahli tafsir hukum Islam. Sudah cukup.

Krusial yang muncul justru order Presiden agar Lidik dan Sidik dilakukan transparan. Makhluk apalagi ini? Sebab, cara itu menyimpang dari hukum acara, khususnya KUHAP.

Penjelasan dari Kapolri lebih membuat blunder. Mengutip Tito Karnavian, cara model baru ini berdasar hukum diskresi (discreationary power – penggunaan kekuasaan untuk mengatasi masalah karena kekosongan hukum).

Para pakar yang bicara tak melihat adanya kekosongan hukum sehingga terhadap KUHAP tak bisa dilakukan diskresi.

Diskresi sendiri bersumber dari Freis Ermesson (kebebasan pejabat publik untuk melawan hukum demi kepentingan publik dan hukum). Akibatnya, diskresi terhadap KUHAP malah tak memenuhi demi kepentingan publik dan hukum.

Berikutnya, diskresi tidak bebas nilai. Diskresi dikontrol oleh 4 unit hukum. Yaitu 1. Detournament du pavoir (penyalahgunaan kewenangan), 2. Excces Du Pavoir (penyalahgunaan kekuasaan), 3. Onrechtmatige Daad (perbuatan melawan hukum), dan Tort (kesalahan pidana, termasuk korupsi). Dengan demikian, diskresi tersebut akan digugat oleh Kuasa Hukum MUI. (ts)

Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR RI)