Kesadaran Palsu Dan Budaya Politik Kekerasan

Eramuslim.com -ANCAMAN PMII Surabaya untuk membubarkan acara deklarasi KAMI adalah salah satu contoh mengapa Indonesia harus diselamatkan. Ancaman itu menunjukkan budaya politik yang mengandalkan kekerasan massa dan kedekatan kepada kekuasaan untuk memaksakan kemauan.

Baru saja berlalu ketika sebuah organisasi massa menyerbu sebuah pesantren dan melakukan tindak pemaksaan dan kekerasan verbal kepada pimpinan pesantren yang notabene seorang ulama. Kita masih ingat saat pilpres yang lalu, kekerasan yang sama menimpa Ahmad Dhani dan Bunda Neno.

Dalam situasi seperti itu, aparat hukum malah mengabaikan kewajiban konstitusional untuk melindungi kebebasan berbicara dan berkumpul. Mereka memilih mengabaikan panggilan konstitusional itu dengan dalih khawatir adanya bentrokan massa.

Apa yang terjadi? Di seluruh dunia aparat hukum mempertahankan konstitusi sampai titik darah penghabisan. Namun di sini, aparat hukum memilih mendukung kepentingan penguasa, sekalipun harus mengabaikan kewajiban konstitusi.

Kejadian yang berulang menjadikan kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung lama membentuk budaya.

Budaya politik yang dicirikan oleh kekerasan massa (bukan cara-cara demokrasi dan konstitusi) sebetulnya sudah pernah terjadi dulu, yaitu pada era Demokrasi Terpimpin.

Pada ketika itu, PKI membangun aksi massa untuk membubarkan orpol dan ormas, yang notabene adalah musuh politik mereka. PKI tahu bahwa keinginan mereka itu akan mudah dipenuhi oleh Presiden Soekarno sebab Soekarno pada akhirnya menganggap Muhammad Natsir, Bung Syahrir, bahkan Bung Hatta sebagai musuhnya. Maka dengan mudah Presiden Soekarno memenuhi tuntutan PKI dengan berturut-turut membubarkan Masyumi, PSI, Murba, dan hampir saja membubarkan HMI.