Setelah Uighur, Dugaan Diskriminatif China Meluas Menyasar Muslim Utsul di Hainan

Hubungan dengan Asia Tenggara

Upaya menyingkirkan Islam dipercepat pada 2018 setelah Dewan Negara, kabinet China, mengeluarkan arahan rahasia yang memerintahkan para pejabat untuk mencegah agama agar tidak mengganggu kehidupan sekuler dan fungsi negara. Arahan itu memperingatkan “Arabisasi” di masjid dan sekolah.

Di Sanya, partai tersebut memburu kelompok dengan posisi penting dalam hubungan China dengan dunia Islam. Kaum Utsul telah menjadi tuan rumah bagi Muslim dari seluruh negeri yang mencari iklim nyaman di Provinsi Hainan, dan mereka telah menjadi jembatan bagi komunitas Muslim di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Identitas Islam Utsul dirayakan selama bertahun-tahun oleh pemerintah saat China mendorong hubungan yang lebih kuat dengan dunia Arab. Hubungan semacam itu telah menjadi kunci dari program Belt and Road Initiative Presiden Xi, program untuk membiayai proyek infrastruktur di seluruh dunia dan meningkatkan pengaruh politik Beijing dalam prosesnya.

Utsul telah menjadi “basis penting bagi Muslim yang pindah ke luar negeri untuk menemukan akar budaya dan menyelidiki nenek moyang mereka,” kata sebuah memo pemerintah pada 2017 memuji peran Islam di Hainan dalam progran Belt and Road Initiative Plan.

“Hingga saat ini, mereka telah menerima ribuan sarjana dan kawan dari puluhan negara dan wilayah, dan merupakan jendela penting untuk pertukaran budaya di antara orang-orang di sekitar Laut China Selatan.”

Meskipun secara resmi dicap sebagai bagian dari etnis minoritas terbesar di China, Hui, Utsul memandang diri mereka secara budaya berbeda dari komunitas Muslim lainnya di negara tersebut.

Mereka adalah muslim Sunni, diyakini keturunan dari Cham, nelayan jarak jauh dan pedagang maritim Kerajaan Champa, yang memerintah selama berabad-abad di sepanjang pantai tengah dan selatan Vietnam. Dimulai sejak abad ke-10, pengungsi Cham melarikan diri dari perang di tempat yang sekarang disebut Vietnam tengah dan melakukan perjalanan ke Hainan, sebuah pulau tropis seukuran Maryland.

Selama berabad-abad, kaum Utsul mempertahankan hubungan yang kuat dengan Asia Tenggara dan terus mempraktikkan Islam tanpa terkekang. Namun selama Revolusi Kebudayaan pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, gerombolan Pengawal Merah yang setia kepada Mao Zedong menghancurkan masjid-masjid di desa-desa Utsul, seperti yang mereka lakukan di seluruh China.

Ketika China membuka diri pada dunia di awal 1980-an, Utsul mulai menghidupkan kembali tradisi Islam. Banyak keluarga terhubung kembali dengan keluarganya yang telah lama hilang di Malaysia dan Indonesia, termasuk mantan Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, yang kakeknya dari pihak ibu merupakan orang Utsul yang besar di Sanya.

Sampai hari ini, banyak warga Utsul, juga dikenal sebagai Utsats, berbicara bahasa Chamic, mirip dengan bahasa yang masih digunakan di beberapa bagian Vietnam dan Kamboja, selain Mandarin.

Sup ikan asam yang diracik dengan cita rasa Asia Tenggara tetap menjadi makanan khas setempat, dan para tetua menyampaikan kisah migrasi leluhur mereka ke Hainan. Perempuan memakai kerudung warna-warni, terkadang berhias manik-manik atau sulaman, yang menutupi rambut, telinga dan leher mereka, gaya yang mirip dengan penutup kepala yang dikenakan perempuan Muslim di Malaysia dan Indonesia.