Setelah Uighur, Dugaan Diskriminatif China Meluas Menyasar Muslim Utsul di Hainan

Membatasi aktivitas agama

Yusuf Liu, seorang penulis Malaysia-China yang mempelajari Utsul, mengatakan kelompok tersebut telah mampu mempertahankan identitas yang berbeda karena mereka terisolasi secara geografis selama berabad-abad dan memegang teguh keyakinan agama mereka. Dia menegaskan, dalam banyak hal Utsul mirip dengan orang Melayu.

“Mereka memiliki banyak karakteristik yang sama, termasuk bahasa, pakaian, sejarah, ikatan darah dan makanan,” jelas Liu.

Ketika ekonomi pariwisata Sanya berkembang pesat selama dua dekade terakhir, hubungan Utsul dengan Timur Tengah juga tumbuh. Para pemuda pergi ke Arab Saudi untuk mempelajari Islam. Tokoh masyarakat mendirikan sekolah untuk anak-anak dan orang dewasa untuk belajar bahasa Arab. Mereka mulai membangun kubah dan menara untuk masjid mereka, bergeser dari gaya arsitektur tradisional China.

Meskipun ada beberapa bentrokan antara Utsul dan tetangganya Han dalam beberapa dekade terakhir, mereka sebagian besar hidup dalam damai, dengan kedua kelompok mendapat manfaat dari lonjakan pariwisata baru-baru ini. Sebaliknya, Beijing sejak lama mencoba menekan perlawanan Uighur terhadap pemerintahan China, yang terkadang disertai kekerasan. Partai Komunis mengatakan kebijakannya di Xinjiang untuk mencegah terorisme dan ekstremisme agama.

Namun dalam dua tahun terakhir, bahkan di Sanya, pihak berwenang mulai membatasi ekspresi keagamaan dan hubungan yang terbuka dengan dunia Arab.

Para pemimpin masjid setempat mengatakan mereka diminta tak lagi menggunakan pengeras suara saat azan atau mengeluarkan pengeras suara dari atas menara, meletakkannya di bawah dan sekarang diminta mematikan volume.

Pembangunan sebuah masjid baru terhenti karena perselisihan terkait desainnya yang dianggap mengikuti arsitektur “Arab”. Warga mengatakan, pemerintah kota melarang anak-anak di bawah 18 tahun belajar bahasa Arab.

Warga Utsul mengatakan mereka ingin belajar bahasa Arab tidak hanya untuk lebih memahami teks-teks Islam, tetapi juga untuk berkomunikasi dengan turis Arab yang, sebelum pandemi, datang ke restoran, hotel, dan masjid mereka. Beberapa penduduk menyatakan frustrasi dengan pembatasan baru tersebut, mempertanyakan janji pemerintah China untuk menghormati 56 kelompok etnis yang diakui secara resmi.

Ulama setempat yang belajar selama lima tahun di Arab Saudi mengatakan, masyarakat diberitahu bahwa mereka tidak lagi diizinkan untuk membangun kubah.

“Masjid di Timur Tengah memang seperti ini. Kami ingin membangun rumah kami seperti itu agar terlihat seperti masjid dan bukan hanya rumah,” jelasnya, berbicara tanpa menyebut nama karena beberapa warga baru-baru ini ditangkap sebentar karena mengkritik pemerintah.

(Sebagai tanda sensitivitas masalah ini, sejumlah petugas polisi berpakaian preman menginterogasi wartawan The New York Times di Sanya terkait liputan soal masjid)

Komunitas terkadang melawan. Pada September lalu, orang tua dan siswa Utsul melakukan unjuk rasa di luar sekolah dan kantor pemerintah setelah beberapa sekolah umum melarang anak perempuan mengenakan jilbab. Beberapa pekan kemudian, pihak berwenang mencabut perintah tersebut, hal yang jarang terjadi karena tekanan publik.

Namun, pemerintah tetap melihat asimilasi berbagai etnis minoritas China sebagai kunci untuk membangun bangsa yang lebih kuat.

“Kita perlu menggunakan perbedaan etnis sebagai fondasi untuk membangun kesadaran China yang bersatu,” kata Xiong Kunxin, profesor studi etnis di Universitas Minzu di Beijing. Ini adalah arah perkembangan masa depan China.

Untuk saat ini, komunitas Utsul hidup berdampingan dengan pihak berwenang namun tidak nyaman.

Di tengah halaman Masjid Nankai, bendera merah China berkibar hampir sama tingginya dengan puncak menara. [pan]