Madiun Berdarah 1948, Sejarah Kebiadaban Komunis Terhadap Ulama

Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI melakukan makar dan pemberontakan kala itu. Agus menceritakan kekejaman PKI ini di berbagai sumber referensi seperti buku, makalah, buletin dan forum diskusi atau seminar.

Agus yang juga penulis buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa umat Islam termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan oleh PKI.

Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul dengan aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai macam tindakan fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.

Agus menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso.

Liputan wartawan ‘Sin Po’ yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase yang diberi judul: ‘Kekedjeman kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa “ketjipratan” djoega.’

Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700 orang di antaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke pusat Kota Madiun.

Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.

Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.

Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan bupati, patih, sekretaris kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.