Madiun Berdarah 1948, Sejarah Kebiadaban Komunis Terhadap Ulama

Gadis Rasid, seorang pejuang yang juga wartawan pada tahun 1940-an menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Gadis menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.

Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu.

Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak pembantaian massal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.

Masjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.

Tindakan kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: “Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga.

Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali”.

Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.

Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur ‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.

Mereka bukan sekadar melihat peristiwa itu, namun sebagian di antara mereka ingin mencari anggota keluarganya yang diculik PKI. Diantara sumur-sumur ‘neraka’ yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-orang PKI sendiri.

Dalam proses pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Magetan; (7) Sumur ‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.