Selain itu, KMS Kaltim juga menilai adanya upaya pembongkaran paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka.
Upaya tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah, dan hak atas pemukiman warga.
Pemaksaan pembongkaran bangunan dengan dalih tidak berizin terhadap tanah-tanah masyarakat yang telah dikuasai warga jauh sebelum rencana pembangunan IKN merupakan bentuk menghadirkan kembali cara-cara penjajah Belanda dalam menguasai tanah-tanah rakyat melalui politik “Domein Verklaring” yang menyatakan “Barangsiapa yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah, maka tanah menjadi tanah pemerintah.”
Politik penjajah ini telah dihapuskan melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana negara bukan sebagai pemilik tanah, namun mengemban tugas mengatur peruntukan sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Upaya paksa penyingkiran masyarakat adat dengan dalih pelanggaran atas Tata Ruang IKN merupakan bentuk genosida masyarakat adat.
Pun, KMS Kaltim menyoroti pembentukn Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara, yang dijadikan dasar pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat.
Menurut KMS Kaltim, produk hukum ini dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang mengamanatkan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
KMS Kaltim menegaskan bahwa tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, tata ruang tidak menjadi alat untuk mensejahterakan masyarakat, tetapi justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat.
Pemerintah lupa bahwa negara pada hakikatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN.
Dalam siaran pers tersebut, KMS Kaltim menyatakan sikapnya, yaitu:
- Menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun.
- Masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan, bukan justru mengalami pembongkaran paksa dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN.
- Menyatakan dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum.
- Menolak pembangunan IKN yang mengusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat.
- Menyerukan kepada seluruh rakyat untuk membangun solidaritas bersama agar keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat dapat dilawan.
Siaran pers ini ditandatangani oleh 16 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kalimantan Timur, di antaranya Jatam Kaltim, KIKA Kaltim, AJI Samarinda, LBH Samarinda, Aksi Kamisan Kaltim, SAKSI FH Unmul, PEMA Paser, POKJA 30, PuSHPA FHUNMUL, Pus-HAMMT UNMUL, TKPT, AMAN Kalimantan Timur, PUSDIKSI FH UNMUL, Nomaden Institute, Sambaliung Corber, dan Perempuan Mahardhika. (sumber: Fajar)
Sambil baca sambil ketawa wkwkwk rasain…sukuriin…nikmatin bhuahaha…