Awas, Utang Indonesia Sudah Meroket Terlalu Tinggi!

Kamrussamad mengatakan, terdapat tiga instrumen untuk mengukur utang suatu negara masuk kategori over borrowing atau lower borrowing. Yaitu,  DSR (Debt Service Ratio), rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%.  DER (Debt Export Ratio), rasio totang ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%. Dan DGDP (Debt to GDP Ratio), rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40%.

Politikus dari Partai Gerindra itu menambahkan,  mengacu pada data ULN Februari 2021, nilai DGDP ratio Indonesia sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020.

“Itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melampaui batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur,” ujar dia, Jumat (16/4).

Anggota DPR dari dapil DKI Jakarta itu menyarankan pemerintah melakukan manajemen utan seperti mencari sumber pendanaan yang berbiaya murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang dan mendukung pengembangan pasar.

“Kurangi  pinjaman valas secara gradual dan terencana, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, dan fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru,” saran dia.

Kamrussamad menyarankan, penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada.

“Obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik,” tambah dia.

Anggota DPR itu memahami utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dimana pemerintah terpaksa harus pengeluaran untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Ia enggan terlibat adu argumen terkait perbandingan besaran utang negara.

“Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah “tawuran” argumen yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi,” tandas dia. []