Dr. Tamsil Linrung: Sudah Cukup Bapak Presiden

Faktanya, kini semua berbalik 180 derajat. Ambyar, istilah anak muda sekarang. Virus mematikan itu kadung mewabah. Tersebar di banyak daerah. Dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Dengan kenaikan jumlah kasus signifikan dari hari ke hari. Meski banyak pihak meragukan kredibilitas data yang diekspos pemerintah itu.

Dan bisa ditebak, sektor ekonomi termasuk kena dampak paling parah. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan sudah bisa menerawang bahwa ekonomi akan mengalami crash landing. Aktivitas bisnis, produksi, hingga pusat-pusat konsumsi seperti mal dihentikan seketika. Social distancing demi meredam dan memutus mata rantai penyebaran si virus mematikan.

Kenneth S. Rogof Ekonom Harvard mengatakan, ini akan jadi induk dari segala krisis keuangan. Ekonomi akan meluncur ke titik terburuk dalam 100 tahun terakhir. Lembaga-lembaga kredibel internasional sudah merilis prediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Menurut JP Morgan, ekonomi global akan tumbuh minus 1,1 persen, lalu Economist Intelligence Unit memprediksi minus 2,2 persen, serta IMF memprediksi minus 3 persen.

Resesi pasti terjadi. Tinggal kedalaman dan daya rusaknya belum terbaca. Akan berbeda di setiap negara. Secara alamiah, situasi ini mengukur dan menguji kapasitas pemerintah. Di berbagai level. Baik pusat maupun daerah. Tentu saja tidak mempan dipoles.

Karena itu, publik, rakyat, perlu terlibat mengawasi agar penggunaan anggaran dilakukan secara transparan, terukur dan efektif. Hentikan semua proyek-proyek fisik dan pengeluaran tidak esensial. Kecuali yang terkait langsung untuk menyelamatkan kebutuhan dasar masyarakat. Pusatkan anggaran mengehentikan laju penyebaran Corona dan meminimalisir dampak terhadap perekonomian.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah alarm pertama dari sebuah krisis. Sebelum membentuk rentetan dampak turunan yang mengerikan. Dan gelombang PHK itu sudah terjadi. Seperti dilansir Kementrian Tenaga Kerja, hampir dua juta pekerja yang di-PHK dan dirumahkan.

Pada saat yang sama, anggaran pengaman sosial Kartu Pra Kerja yang dirilis pemerintah justru menuai kritik. Salah sasaran. Bukan saja dibutuhkan oleh mereka yang baru lulus dan akan masuk ke industri kerja, namun tak kalah penting bagaimana anggaran tersebut dapat diperoleh oleh jutaan masyarakat yang telah terkena PHK. Apalagi, pemerintah menganggarkan Rp 20 triliun untuk program Pra Kerja.

Sialnya, program tahap awal sebesar Rp 5,6 trilun bukan dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat yang berhak. Tapi sebagian besar malah masuk ke kantong-kantong penyedia layanan (vendor) materi pelatihan online yang diantaranya merupakan perusahaan milik Staf Khusus Presiden.

Hal ini mengingatkan kepada kita terhadap siklus kejatahan terhadap keuangan negara dan skandal anggaran yang kerap terjadi dalam situasi krisis. Sudah banyak tercatat dalam sejarah. Mulai dari BLBI pada krisis 1998 hingga skandal Century pada krisis 2008.

Yang disayangkan, polemik anggaran tersebut melibatkan anak-anak muda yang tadinya kita harapkan menjadi penjaga moral kekuasaan. Dari pemberitaan kita juga tahu, ternyata bukan cuma satu atau dua orang yang tersandung masalah conflict of interest. Namun ada tiga stafsus muda. Dan patut dicatat, tak ada dalih yang dapat membenarkan praktik nepotisme itu.

Ini satu catatan merah terkait penggunaan anggaran yang telah direalokasi dengan konsiderasi Perppu 1/2020 yang keabsahannya digugat. Sebab perubahan terhadap APBN dilakukan tanpa melibatkan legislatif yang oleh UUD NKRI 1945, DPR mendapatkan mandat budgeting (hak budget). Peniadaan pembahasan APBN-P dengan alasan efesiensi adalah sebuah kekeliruan yang fatal. Apalagi jika disertai asumsi bahwa APBN tidak mengalami perubahan dalam siklus pembahasannya.

Kalaupun itu terjadi, maka tetap harus diputuskan dalam pembahasan APBN-P yang putusannya adalah APBN-Perubahan disepakati ‘tidak mengalami perubahan’. Kenapa? Karena pembahasan APBN-P adalah suatu keniscayaan sebagai amanat UUD NKRI 1945.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa asumsi makro pasti akan mengalami perubahan dalam siklus enam bulanan, bahkan pernah terjadi kurang dari itu termasuk ketika terjadi tsunami di Aceh. Perubahan APBN ketika terjadi tsunami di Aceh (ketika itu saya menjadi anggota Banggar, dan beberapa kali hal serupa terjadi ketika saya memimpin Banggar), itu hanya dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 3×24 jam.