Jalan Terang Menguak Pemilu yang Curang

Filosof Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern membuat semacam patokan soal legitimasi negara bahwa setidaknya negara harus memiliki pengakuan masyarakat.

Pengakuan masyarakat terhadap hukum dan untuk menjamin keberlakuan hakikat negara. Negara berkuasa karena masyarakat mengakui kewenangannya. Itu sebabnya, kestabilan negara tergantung dari pengakuan wewenang oleh masyarakat.

Pendek kata, minimnya pengakuan masyarakat, maka berimplikasi atas legitimasi akan luntur atau sirna. Merujuk pendapat begawan filsafat tersebut, pemerintahan yang legitimite mesti memiliki dukungan masyarakat secara luas.

Pengakuan masyarakat terhadap hasil pemilu, oleh sebab itu, menjadi penting dan menentukan terhadap bobot dan legitimasi pemerintahan. Makin tinggi pengakuan masyarakat terhadap hasil pemilu maka secara pararel legitimasi pemerintahan juga makin tinggi.

Begitu pula sebaliknya, makin rendah kepercayaan terhadap hasil pemilu juga berimplikasi makin menurunnya legitimasi pemerintahan hasil pemilu.

Pengaruh kasus Wahyu Setiawan terhadap legitimasi hasil pemilu tentu amat bergantung sejauh mana modus operandi skandal memalukan tersebut.

Jika sistematik, tentu akan menjadi preseden bagi demokrasi karena legitimasi hasil pemilu akan menjadi sorotan publik yang pada gilirannya menggerus legitimasi hasil pemilu.

Sebaliknya, jika ini bersifat personal, tentu dampaknya tak begitu besar bagi legitimasi hasil pemilu. Meski begitu, juga tak bisa disimpulkan kemudian bahwa tak memiliki efek tehadap hasil pemilu.

Pendek kata, dampaknya pasti ada, hanya tidak signifikan dalam memengaruhi legitimasi hasil pemilu. Peristiwa memalukan ini tentu mencederai demokrasi sekaligus mencoreng wajah seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga tingkat paling bawah.

Personal atau sistematik?

Diawali dengan keinginan DPP PDIP untuk mengajukan Harun Masiku sebagai anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas, caleg terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan, yang wafat pada Maret 2019 atau sebelum dilantik. Padahal mestinya Riezky Aprilia yang menggantikan Nazarudin melalui jalur pergantian antar waktu (PAW).

Untuk menjegal Riezky, pengurus penting di DPP PDIP memerintahkan Doni, seorang pengacara, untuk mengajukan uji materi pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).