Jalan Terang Menguak Pemilu yang Curang

Jiwasraya membuat kerugian besar lantaran berinvestasi pada sebagian aset yang buruk atau dengan risiko tinggi (high risk) untuk mengejar keuntungan. Investasi ini pun melibatkan 13 perusahaan reksadana.

Sebagai akibat transaksi-transaksi investasi tersebut, Jiwasraya menanggung potensi kerugian negara sebesar Rp 13,7 triliun. Ini merupakan perkiraan awal dari diperkirakan nilainya akan lebih dari Rp 13,7 triliun.

Masuknya Erick Thohir menjadi Menteri BUMN dengan konsep “Bersih-bersih BUMN” akan menjadi batu sandungan dalam membongkar kasus gagal bayar. Ada indikasi bahwa emiten yang sahamnya pernah dibeli Jiwasraya lebih dari 5 persen adalah PT. Mahaka Media Tbk (ABBA).

Setelah muncul isu gagal bayar Jiwasraya, timbullah masalah saling menyalahkan bahwa Jiwasraya sudah rugi atau gagal bayar sejak pemerintahan sebelumnya. Mencari kambing hitam pupus, otomatis terbantahkan bila kita melihat laporan keuangan Jiwasraya sejak 2009 sampai 2017 memperoleh laba, kemudian masalah muncul pada tahun 2018 dan 2019 dan saat ini defisit lebih dari Rp 30 triliun.

Permasalahan yang menimpa PT. Jiwasraya semakin melebar kemana-mana. Baru-baru ini, berembus kabar dana milik perusahaan pelat merah digunakan untuk kampanye Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2019 yang lalu.

Ibarat bisul, masalah Jiwasraya pecah tahun 2018. Kalau dikaitkan dengan pilpres itulah yang menjadi pertanyaan dan perlu dilakukan investigasi khusus atau melakukan audit forensik sehingga jelas benang merahnya kemana aliran dana itu mengalir.

Ada dugaan bahwa dana jiwasraya mengalir ke lingkungan istana dan kabarnya untuk mengongkosi pilpres yang telah dimenangkan oleh petahana.

Dugaan ini antara lain disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono.

Arief menengarai dana tersebut mengalir untuk kampanye petahana Joko Widodo pada Pilpres 2019. Oleh karena itu Arief meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dari Kejaksaan Agung.

Arief menengarai unsur politik dalam kasus ini cukup kuat.”KPK sebaiknya melakukan supervisi terhadap Kejaksaan Agung yang sedang menyidik kasus dugaan mega korupsi PT Jiwasraya,” kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 26 Desember 2019.

Arief menyindir bekas direksi PT Jiwasraya yang pernah menjabat di Kantor Staf Presiden. Yang dimaksud Arief ialah eks Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo.

Harry pernah menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP tersebut. Kini dia terseret dalam kasus kasus gagal bayar yang melilit Jiwasraya.

Menurut Arief, perlu diselidiki kaitan antara masuknya Harry sebagai pejabat di KSP dengan gagal bayar Jiwasraya. “Jangan sampai ada dana Jiwasraya yang dibobol mantan Direksi Jiwasraya yang kemudian menjadi staf di KSP disalurkan ke dana pemenangan kampanye Pilpres 2019,” kata Arief.

Oleh karena itu, Kejaksaan Agung harus bisa menjelaskan keterlibatan mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo dalam kasus korupsi ini.

Sekaligus menjelaskan keterkaitan beliau saat menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP).Kejakgung juga harus bisa menjawab pertanyaan publik selama ini yang menduga dana Jiwasraya digunakan untuk kegiatan kampanye Pilpres Jokowi pada tahun 2018.

Terbukanya Kotak Pandora

Munculnya kasus suap Wahyu Setiawan dan kasus jiwasraya semakin menguatkan dugaan publik tentang terjadinya kecurangan pemilu saat pilpres yang lalu. Dengan adanya kasus Wahyu Setiawan dan Jiwasraya, publik kemudian mulai mengaitkan kembali dengan pernyataan Tim Hukum 02 Bambang Widjojanto (BW).

Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW), mengatakan ada fakta terjadinya penggerusan dan penggelembungan suara dalam proses Pemilu Presiden 2019. Berdasarkan hitungan Tim IT internal, kata BW, ada penggerusan suara 02 sebesar lebih dari 2.500.000 dan penggelembungan suara 01 sekitar di atas 20 juta.

“Sehingga perolehan sebenarnya untuk suara pasangan 01 sekitar 62.886.362 (48%) dan suara untuk pasangan 02 sekitar 71.247.792 (52%),” kata BW melalui keterangan tertulisnya, Jumat (14/6/2019).

Kotak Pandora kecurangan pilpres makin terbuka manakala muncul berita heboh di media sosial seputar “Nyasarnya “WA” pemilik lembaga survey ternama kepada Menko Luhut Panjaitan.

Berdasarkan pesan Whatsapp itu, pemilik lembaga survei meminta imbal balik jasa. “Pemilik surpay menuntut jabatan sebagai balas jasa menangkan pilpres,” katanya.“Saya bisa membantu komandan soal investasi soal tambang, di posisi komisaris,” ujarnya.

Pengirim pesan lalu mengungkit bahwa sejumlah kepala daerah sudah dibantunya. Termasuk untuk survei yang memenangkan Jokowi dua periode.Di akhir pesan Wa itu, tercantum nama Denny JA, pemilik Lembaga Survei Indonesia (LSI).“Di grup Tokoh Nasional, Jam 07:08 wib, 14/1/2020,” demikian tulisan di akhir.

Adanya WA yang dianggat “nyasar” tersebut mendapatkan tangapan dari Politisi Partai Gerindra Iwan Sumule mengungkap adanya indikasi kecurangan dan rekayasa di Pilpres 2019 lalu.

Jadi “nyasarnya “WA” pemilik lembaga survey ternama kepada Menko, menjadi tanda adanya rekayasa survey di pilpres lalu,” cuit Iwan Sumule.

Kini publik menanti dengan harap harap cemas penyelesaian kasus kasus yang muncul belakangan ini, apakah mampu aparat berwenang bekerja secara jujur dan profesional untuk mengungkap dalang-dalangnya.

Ataukah munculnya kasus kasus itu hanya sekadar pelipur yang menambah duka lara rakyat karena tidak pernah terpenuhi harapannya.[ljc]