Soal Freeport, Indonesia Diakali Rio Tinto dan McMoran ?

Inalum mencatatkan posisi aset per 31 Desember 2015 sebesar 1.134 miliar dolar AS dan utang sebesar 75 juta USD alias ekuitasnya adalah 1.059 miliar dolar AS. Dari aset tersebut yang berupa aset lancar adalah 719 juta dolar AS.

Jika laba 2016 dan 2017 berturut tidak berubah yaitu 79 juta USD maka posisi akhir 2017 aset lancar Inalum diperkirakan adalah 877 juta dolar AS.

Nilai kapitalisasi inalum sebelum restrukturisasi diperkiraan sebesar 1,54 miliar dolar AS.

Aneh, dalam sisi financial, sebuah perusahaan dengan nilai pasar 1,5 miliar dolar AS mampu menghimpun global bond sebesar 4 miliar dolar AS dalam waktu 1 bulan. Maka hal tersebut adalah leveraging terbesar yang pernah ada dalam sejarah perusahaan tambang di Indonesia.

Jika kita bayangkan, Inalum menggunakan penerbitan saham baru untuk menghimpun 4 miliar USD daripada menggunakan global bond maka kepemilikan saham pemerintah yang tadinya 100 persen maka kini hanya menjadi sekitas 27 persen saja.

Langkah tersebut tidak dilakukan mungkin karena antisipasi reaksi besar masyarakat jika Inalum tidak lagi dikuasai oleh Negara melainkan oleh Shareholdersnya. Sebuah strategi jitu!

Inalum Langsung Punya Beban Akibat Divestasi Freepot 

Inalum memiliki beban langsung dari divestasi tersebut. Pertama beban bunga (kupon) atas penerbitan Global Bond 4 Miliar dolar AS dan Beban karena tidak diperolehnya deviden (NOL) dari Freeport dalam kurun 2 tahun 2019-2020.

Beban tidak langsung berupa tidak dipegangnya jabatan Direktur Umum Freeport dan beban lingkungan akibat investas RIO masa lalu.

Hal-hal tersebut menambah beban keuangan bagi Inalum sebagai Holding BUMN Pertambangan.