Ambisi Irasional Jokowi dan Bahaya Kegagalan Pemindahan Ibu Kota Negara

Secara pribadi Saya juga senang Kalimantan menjadi ibukota negara, karena Ayahanda Istri Saya berasal dari Kalimantan. Tentu saja, pada ketiga anak-anak Saya ikut mengalir darah Kalimantan dari suku Banjar dan suku Dayak. Hanya saja yang patut Kita sayangkan dan harus diwaspadai, Jokowi sebagai pemimpin tertinggi bangsa dan negara, telah membuat rencana strategis pemindahan ibukota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan, menjadi beresiko tinggi dan berbahaya.

Karena Jokowi memutuskan rencana pindah ibukota laksana seorang “Raja” dan maunya serba instan dan segera. Ia memutuskannya dengan terburu-buru, sangat ambisius, tidak transparan dan terbuka, dan seperti mengabaikan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam benak dan imajinasi Jokowi, kekuatan mayoritas di lembaga legislatif DPR RI yang berhasil dikumpulkannya, sudah merupakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.

Jokowi terjebak “off side”, dengan memposisikan dirinya seolah-olah “Raja” di “Kerajaan Indonesia” dengan titah “sabda pandita ratu”. Bahwa dirinya adalah pengambil keputusan mutlak dan satu-satunya di negara yang berbentuk republik dengan asas demokrasi Pancasila.

Jokowi seperti tidak menyadari bahwa memindahkan ibukota negara bukan sekedar membangun fisik dan prasarana belaka. Yang paling utama dan terpenting adalah membangun peradaban manusia dan komunitas masyarakat di ibukota negara yang baru di Kalimantan.

Sejarah seluruh bangsa dan negara di dunia sudah membuktikan, untuk memindahkan ibukota negara, membutuhkan proses evolusi yang panjang, tidak bisa dengan kilat dan instan seperti sekian banyak proyek “Sangkuriang” yang selama ini dititahkan Jokowi kepada Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, salah seorang pembantunya.

Selama memimpin Indonesia, Jokowi bersama para pembantunya seperti berupaya keras menggulirkan “logika pendek akal” bahwa “tidak ada yang tidak bisa diubah, kecuali Kitab Suci semua agama”.

Tetapi, mereka sendiri akhirnya melanggar “logika pendek akal” tersebut, terkait pemindahan Ibu Kota Negara. Jokowi dan para menterinya lupa, bahwa “logika pendek akal” itu seperti pisau bermata dua, yang bisa berbalik memakan tuannya.

Jokowi, para menterinya dan para anggota legislatif DPR RI yang telah mensahkan berlakunya peraturan perundang-undangan tentang Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan, lupa akan “logika pendek akal” yang mereka anut dan gulirkan sekian lama. Bahwa siapapun yang akan menjadi Presiden RI berikutnya bisa menggunakan “logika pendek akal” yang sama, bahwa “apapun bisa diubah kecuali Kitab Suci semua agama”.

Mau bagaimanapun caranya, atau dengan aturan hukum apapun mereka mengamankan kebijakan tentang pemindahan ibukota negara, pada akhirnya tetap saja “logika pendek akal” akan bisa membatalkannya.

Setiap saat dimanapun Saya sedang berada di seluruh dunia, yang selalu menjadi perhatian dan pemikiran Saya adalah bagaimana dengan masa depan Indonesia kelak. Siang ini, saat sedang mendengarkan khotbah Shalat Jumat di salah satu Mesjid di Amerika, tiba-tiba terlintas dalam pikiran Saya, bagaimana Jokowi dan para Menterinya tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka sedang menghadapi risiko besar kegagalan pemindahan Ibu Kota Negara.

Karena sadar atau tidak sadar, Jokowi telah mempersonifikasikan dirinya dengan seluruh rakyat Indonesia dan Ibukota Negara yang baru di Kalimantan. Jokowi tidak menyadari bahwa belum tentu seluruh rakyat Indonesia atau setidaknya mayoritas rakyat Indonesia, setuju dan sepakat dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan.

Atau bisa juga mayoritas rakyat Indonesia setuju dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan, tapi tidak setuju dengan cara Jokowi dan para menterinya, yang grusa-grusu dan tergesa-gesa, seperti memiliki “hidden agenda”.