Derek Manangka: Membaca ‘Konflik’ Jend. Gatot dan Tito

Yang berkesempatan menjadi Panglima TNI tidak hanya Jenderal Angkatan Darat. Sementara jenderal dari matra Udara dan Laut, hanya berharap pada nasib baik saja.

Jadi sebetulnya reformasi yang paling mendasar dan yang paling terasa magnitude-nya adalah berakhirnya peranan TNI Angkatan Darat sebagai kekuatan politik.

Peranan militer dalam dunia politik melalui apa yang dikenal dengan sebutan dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sudah tutup buku, berkat reformasi.

Reformasi telah mengakhiri tradisi politik, dimana ABRI khususnya TNI Angkatan Darat, tidak lagi bisa menduduki semua posisi yang dianggap penting dalam semua strata kepemimpinan di Indonesia.

Impor senjata pun (mungkin) demikian. Hak monopoli, kalau istilah bisnis ini boleh digunakan untuk memperjelas persoalan, sudah digantikan oleh persaingan bebas dan profesional.

Hanya memang, karena budaya kita dikenal sangat suka berbicara atas dasar ‘rasa pirasa’ dan “tepo seliro”, maka persoalan yang diakibatkan oleh reformasi ini, tidak pernah kita singgung. Bahkan kita cenderung berusaha menutupi atau mengabaikannya.

Seolah-olah persoalan ketersingkiran ABRI, khususnya TNI Angkatan Darat dari posisi kekuatan politik, tidak punya dampak sama sekali. TNI AD dikesankan begitu legowo menerima perubahan tersebut.

Militer atau TNI menjadi pahlawan demokrasi. Demokratisasi akibat peran kuat pihak militer, semakin terasa, ketika Indonesia dipimpin oleh Jenderal SBY.

Selama 10 tahun (2004 – 2014) menjadi Presiden RI, Jenderal SBY lebih mengesankan sebagai seorang sipil. Setidaknya, seorang militer profesional yang tidak mengadopsi sistem pemerintahan otoriter.

Sebaliknya, Polri yang selama rezim Orde Baru diposisikan seperti kekuatan yang ‘tak punya senjata’, pasca reformasi, berubah secara fundamental. Mulai dari penampilan sampai dengan memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden.

Perubahan-perubahan akibat reformasi ini, diparodikan dalam sejumlah ungkapan.

Misalnya soal sepatu lars dan TNI. Ketika dwi-fungsi ABRI sedang kencang-kencang dipraktikkan, siapa saja yang mengenakan sepatu lars, sepatu tentara, bisa menginjak kaki orang yang tanpa sepatu sekeras-kerasnya.

Begitu juga dengan Polri yang memperoleh kekuasaan baru, plus porsi anggaran yang cukup besar di APBN. Ditambah lagi Kapolri-nya bisa duduk sejajar dengan Menteri atau bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Muncul parodi yang mengingatkan apa yang dilakukan oleh ABRI di zaman pra reformasi.

“Kalau anda kehilangan kambing, sebaiknya tidak usah melapor ke siapa-siapa. Sebab kalau anda melapor kehilangan kambing, lembuh piaran anda yang justru akan ikut hilang…,” demikian kurang lebih parodi tersebut.

Saya masih ingat tahun lalu, Panglima TNI menyuarakan kerisauannya. Dimana menurut Gatot Nurmantyo, sudah semenjak dia masih berpangkat Kolonel, institusi penjaga keamanan, tidak lagi mendapat suplai informasi dari aparat intelijen.

Kedengarannya janggal dan menimbulkan tanda tanya besar. Atau apa maksudnya, mengingat lembaga intelijen selama puluhan tahun selalu dipimpin yang namanya baju ijo.