Habib Rizieq, Tragedi Priok, dan Ketimpangan

Sebaliknya, dalam situasi serba tertekan, etnis tertentu yang minoritas justru mampu bekerja dan berusaha jauh lebih ulet. Jadi tak seharusnya kelompok Islam menebar sentimen kepada kalangan yang memang teruji telah bekerja dan berusaha lebih keras. Di sisi lain, sisi keseriusan umat Islam dalam berusaha mengubah situasi warisan kolonial ini masih sangat dangkal.

Kita melihat fakta tersebut dengan merujuk kualitas manusia yang tergambar dari kualitas pendidikan. Merujuk daftar sekolah terbaik di Indonesia, kita bisa melihat kualitas sekolah Islam jauh tertinggal dari sekolah umum dan non-Islam. Merujuk data Kemendikbud tahun 2019, dari daftar 20 sekolah terbaik di Indonesia, 13 di antaranya adalah sekolah non-Islam. Hanya ada dua madrasah yang masuk 20 besar. Sisanya hanya ada lima sekolah negeri yang masuk daftar sekolah terbaik.

Melihat fakta itu jangan heran jika kemudian kelompok Islam terpinggirkan. Sebab secara kualitas, harus diakui pendidikan kelompok Islam masih tertinggal. Situasi ini yang hendaknya menjadi atensi serius seluruh ormas Islam maupun pemerintah. Ormas Islam harus lebih serius dalam merespons persoalan terkait peningkatan kualitas pendidikan. Jangan justru lebih larut pada kepentingan jangka pendek, seperti politik.

Di sisi lain, sudah semestinya pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidikan kepada kelompok yang selama ini terpinggirkan. Jadi sangat masuk akal pula ketika ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah sangat kecewa ketika dana hibah pemerintah justru dialokasikan kepada organisasi kapital besar.

Langkah Muhammadiyah dan NU itulah bersuara soal anggaran pendidikan inilah yang sejatinya memperjuangkan kepentingan besar kelompok Islam. Perjuangan yang jauh lebih krusial ketimbang berteriak-teriak soal politik praktis. Sebab politik tak ada artinya tanpa penguasaan ekonomi. Kualitas ekonomi tak akan tercipta dengan kualitas pendidikan yang pas-pasan.Jadi memperjuangkan pendidikan adalah kunci memecah masalah inklusivitas.

Naiknya mutu pendidikan umat Islam sama dengan menaikkan mutu pendidikan Indonesia secara umum. Menaikkan tingkat pendidikan juga memperbesar inklusivitas ekonomi. Jika inklusivitas tercipta maka masalah utama sebuah negara akan tepecahkan.

Namun tak hanya pendidikan yang perlu dibenahi. Secara jangka pendek pemerintah harus serius dalam menata hubungan antarwarga negara. Ini untuk memupus kesan bahwa kelompok Islam adalah warga kelas dua. Sebagai contoh bagaimana hukum yang harus adil diterapkan tak hanya pada kelompok Islam tertentu, melainkan pada semua.

Selain faktor keadilan, di sisi politik pun sejumlah kelompok Islam masih merasakan jarak. Sekalipun Jokowi memilih wapres saat ini dari kalangan ulama, namun secara umum sejumlah ormas masih merasa kurang dirangkul di pemerintahan. Bahkan ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan lainnya merasa hanya dirangkul pemerintah ketika perlu saja. Kontribusi ormas Islam secara politik kebangsaan masih kurang mendapat atensi pemerintah.