Habib Rizieq, Tragedi Priok, dan Ketimpangan

Rasanya bukan kali ini saja Indonesia berurusan dengan sosok seperti HRS bersama FPI-nya. Pada tahun 1984, di Jakarta pernah ada ulama bernama Abdul Qadir Djaelani dengan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Ada pula sosok Amir Biki yang punya kemampuan menggerakkan umat. Keduanya cukup keras saat berorasi. Terkadang hujatan mereka layangkan pada aparat dan pemerintahan. Puncaknya pada 12 September 1984, gerakan massa pimpinan Amir Biki diberondong tembakan tentara yang menyebabkan belasan orang tewas. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai tragedi Tanjung Priok.

Sosok Amir Biki, Abdul Qadir Djaelani, dan kini HRS sejatinya hanya sekadar gejala yang timbul dari persoalan. Persoalan utama itu adalah umat yang selama ini masih teralienasi secara pendidikan, politik, maupun perekonomian. Inklusivitas tak dirasakan mayoritas masyrakyat Indonesia yang kebetulan mayoritas beragama Islam.

Sebelum pecahnya kasus Tanjung Priok, posisi kelompok Islam dalam perpolitikan nasional memang terpinggirkan. Kebijakan Orde Baru melakukan depolitisasi pasca-peristiwa Malari menyasar pula pada gerakan politik dan budaya keislaman. Depolitisasi  mengarahkan pemuda lebih ke sisi budaya populer yang bersifat konsumtif. Di sisi lain budaya Islam, seperti berhijab, dihambat Orde Baru. Disparitas semakin terasa karena sedikitnya afiliasi kelompok Islam itu dalam ring utama pemerintahan Soeharto.

Suara kritik yang saat itu mulai muncul kepada Orde Baru pun disikapi secara represif. Soeharto bahkan menyatakan yang berseberangan dengan pemerintah adalah musuh. “Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila,” begitu salah satu penggalan pidato Soeharto pada HUT Kopassandha, 16 April 1980. Walhasil muncul semacam kesan warga kelas dunia di kalangan kelompok Islam.

Dalam situasi seperti ini, suara vokal tokoh Islam cepat mendapat atensi masyarakat. Walhasil pada periode ini bermunculan tokoh seperti AM Fatwa, Mawardi Noor, dan Oesmany Al Hamidy. Pun halnya populisme tokoh umat yang cukup keras seperti Abdul Qadir Djaelani dan Amir Biki. Semua mengisi ruang kosong yang ditinggalkan negara.

Kala itu, umat merasa diperlakukan tidak adil oleh negara. Perasaan itu yang kemudian terwakilkan oleh suara-suara tokoh Islam yang cukup vokal. Penahanan Abdul Qadir Djaelani dan pembunuhan terhadap Amir Biki nyatanya tak menyelesaikan persoalan. Sebaliknya peristiwa Tanjung Priok justru menambah permasalahan baru.

Orde Baru mulai menyadari permasalahan utama adalah jarak mereka dengan kelompok Islam yang selama ini merasa warga kelas dua. Hal yang coba diperbaiki pada awal 1990-an. Namun semua sudah terlambat. Masalah negara dengan kelompok Islam sejatinya masih sama hingga kini. Sejumlah kelompok Islam masih merasa berjarak, baik secara ekonomi, politik, dan keadilan. Mereka yang merasa berjarak dan diperlakukan tidak adil, akhirnya merasa terwakili oleh narasi yang dibawa HRS. HRS mampu mencuri ruang yang ditinggalkan negara di hati masyarakat yang merasa menjadi warga kelas dua.

Jarak antara kelompok Islam dan ceruk perekonomian, politik, dan keadilan dinilai merupakan warisan dari sistem politik era kolonial. Robinson (1986) menilai perekonomian Indonesia sejak era kolonial telah diklaster. Akumulasi kekuasaan hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok tertentu. Situasi yang terus bertahan hingga era Orde Baru.

Inklusivitas politik dan ekonomi sejak awal tidak terbentuk di negeri ini. Akibatnya banyak kelompok Islam yang merasa terpinggirkan. Acemoglu dan Robinson (2012) mengatakan, selama sistem politik dan ekonomi yang dibangun sebuah negara bersifat estraktif/tidak inklusif maka negara itu akan berujung pada kegagalan. Sebagai contoh Amerika Latin yang kaya sumber daya alam nyatanya jauh lebih terbelakang dari benua Amerika di Utara (Kanada dan AS) yang SDA-nya justru terbatas. Sebab AS dan Kanada lebih inklusif dibandingkan Latin yang ekstraktif yang mana ekonominya lebih terpusat kepada segelintir elit.

Melihat fakta itu jangan heran jika kemudian kelompok Islam terpinggirkan. Sebab secara kualitas, harus diakui pendidikan kelompok Islam masih tertinggal.

Walhasil tesis Acemoglu dan Robinson (2012) menunjukkan bahwa semakin tidak inklusif (ekstraktif) sebuah negara maka akan semakin rawan konflik. Semakin tidak inklusif, negara semakin menuju kepada kegagalan. Ini sesuai dengan judul buku yang ditulis Acemoglu dan Robinson, Why Nation Fail.

Inklusivitas pada kelompok Islam inilah yang menjadi persoalan sejak era kolonial. Lantas bagaimana mencari obat dari masalah inklusivitas ini? Rasanya untuk menjawab pertanyaan ini bisa dikaji dari dua sisi, yakni political will dari pemerintah dan komitmen kelompok Islam sendiri.

Kelompok Islam perlu serius dalam berkontemplasi. Apa yang disampaikan Robinson (1986) terkait warisan penumpukan modal dan kekuasaan politik pada kelompok tertentu tak bisa menjadi alasan utama. Apalagi jika kemudian kelompok Islam mengarahkan sentimennya pada etnis tertentu. Memang dalam pandangannya Robinson sempat menyinggung soal etnis tertentu yang sejak era kolonial mendapat tempat khusus. Hal yang menurut Robinson semakin menjadi di era Orde Baru.

Namun mengutip artikel yang ditulis Chatib Basri (1994) nyatanya pasangan Robinson tak sepenuhnya tepat. Sebaliknya kalangan etnis tertentu itu justru kerap mendapatkan kerugian, seperti dalam kasus monopoli cengkeh di era Orde Baru. Munculnya sejumlah pengusaha etnis tertentu di era Orde Baru dinilai tidak mewakili faktor ras, melainkan sekadar kedekatan person to person.