Irama Jantungan

Tiongkok menemukan tiga kali tipping point.

Pertama di akhir era kekaisaran. Berubahnya lewat revolusi kemerdekaan.

Setelah merdeka, pemerintahan Tiongkok dipegang partai nasionalis: Kuomintang. Tujuan kemerdekaan tidak kunjung tercapai. Pun sampai 35 tahun kemudian, cita-cita kemerdekaan tidak terwujud. Tiongkok tetap saja miskin. Kaisar-kaisar kecil masih terus berkuasa: di banyak sektor dan di banyak daerah.

Sampai mencapai tipping point lagi.

Mao Zedong pun –yang seumur hidupnya tidak pernah melakukan sikat gigi– memimpin pemberontakan. Dengan bendera komunis. Berbulan-bulan. Berdarah-darah. Ayah Xi Jinping bergabung ke pemberontakan itu.

Pemerintahan Kuomintang lari dari Beijing. Ke Shanghai. Kalah di Shanghai. Lari ke Chongqing –di hulu sungai Chang Jiang. Kalah lagi. Lari ke lebih pedalaman lagi: Chengdu di Sichuan. Kalah lagi. Lari ke Taiwan: di situlah pemerintahan nasionalis diteruskan.

Mao tidak mampu lagi mengejarnya. Terpisah laut yang luas. Atau tidak mau mengejarnya –berdasar perhitungan untung rugi.

Tapi pengejaran pura-pura terus dilakukan. Setidaknya secara simbolis –kalau istilah sekarang: secara virtual.

Hampir tiap hari, Tiongkok-komunis terus saja menembakkan meriam ke Taiwan. Dari sebuah pulau kecil di dekat Xiamen, Fujian.

Mereka tahu pelurunya tidak akan sampai tapi arah penembakannya harus ke pulau Taiwan. Lucu sekali. Mereka tahu peluru itu selalu jatuh di laut –tidak jauh dari lokasi penembakan. Terlalu jauh dari sasaran. Tetap saja harus ditembakkan. Setiap hari.

Dengan begitu Tiongkok bisa klaim: revolusi belum selesai. Serbuan masih terus dilakukan –yang terlihat seperti ludruk itu. Taiwan, kata si penembak, tetap harus direbut.

Di tangan Mao Zedong negara tidak kian baik. Kian buruk lagi setelah Revolusi Kebudayaan. Itulah tipping point ketiga.

Deng Xiaoping mungkin juga sulit membangun Tiongkok kalau tipping point belum terjadi.

Sejak 1975 itu Tiongkok bergerak maju.