Kotak Pandora IKN: Edy Mulyadi Dihantam Bertubi-tubi

Atas kasus Edy Mulyadi ini memang terkesan seperti sebagai kasus tukar tambah Arteria Dahlan namun saya berharap tidak demikian dan pelaporan atas Edy Mulyadi bukan sebagai ajang pembalasan atas kasus yang menimpa Arteria Dahlan.

Kembali ke persolan utama, sebenarnya dalam kasus ini, Edy Mulyadi sedang mengkritik pemindahan IKN yang dinilainya terlalu terburu-buru dan tidak tepat baik menyangkut tempus maupun locus. Sebagai negara dengan sistem demokrasi dan berkedaulatan rakyat, dan disebut sebagai the open society, sangat wajar jika kebijakan publik dikritik oleh rakyat.

Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim telah menuai kontroversi yang belum berkesudahan. Oleh karena itu penyusunan UU IKN yang dinilai terlalu terburu-buru dan mengandung substansi yang diduga bertentangan dengan konstitusi, maka layak dikritisi oleh rakyat. Rakyat tidak boleh dibungkam untuk bicara. Namun, juga harus disadari bahwa kebebasan berpendapat itu juga dibatasi oleh hukum.

Banyak persoalan yang membelit pemindahan IKN, maka kita mestinya tetap konsen pada substansi perpindahan IKN bukan sibuk pada bunga-bunga, yang malah memperkeruh suasana, misalnya persoalan pencemaran nama baik, dugaan singgung SARA dll yang sebenarnya bisa kita selesaikan secara RJ atau mediasi saja.

Di rezim sekarang ini ada fakta terkesan tidak banyak oposisi yang berani lantang, namun sekalinya ada yang berani, mudah sekali masuk bui. Lalu bagaimana seharusnya perilaku yang “wajib” diperhatikan oleh para pengkritik kebijakan penguasa? Mengkritik penguasa itu bagi rakyat muslim hukumnya wajib, terkait dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

Memang harus diakui, nasib pengkritik di masa rezim yang represif saya rasakan sangat memprihatinkan meskipun yang disampaikan benar adanya, apalagi tidak benar, atau mengandung unsur pencemaran nama baik, ujaran kebencian dll sangat besar kemungkinan masuk bui.