Reaksi berantai Sanksi AS ke Korut, Bagaimana Indonesia?

Bagi Indonesia, perkembangan tersebut tentu saja sangat menkhawatirkan. Sebab selain sanksi ekonomi AS terhadap Korut itu sendiri. Ada hal yang lebih krusial dalam jangka panjang. Yaitu semakin gencarnya manuver diplomatik Washington untuk menekan negara-negara lain agar memberlakukan embargo dan isolasi ekonomi dan politik kepada Korut.

Beberapa tren belakangan ini menariki untuk dicermati. Misal India, yang notabene masih terikat sebagai salah satu eks negara jajahan Inggris dalam kerangka Common Wealth, April lalu memberlakukam menghentikan kerjasama perdagangan dengan Korut. Kecuali di sektor pangan dan obat-obatan. Itupun belum memuaskan Presiden Trump, karena yang diharap Washtington nampakya adalah pemutusan hubungan diplomati India terhadap Korut.

Selain India, Filipina sebagai salah satu sekutu tradisional AS, juga membekukan semua aktivitas perdagangannya dengan Korut. Meksiko dan Peru, atas arahan dari Washington, juga mengusir beberapa diplomat Korut dari negaranya.

Maka itu, sudah selayaknya pemerintah Indonesia menaruh kekhawatiran terhadap kemungkinan tekanan diplomatik terhadap beberapa negara Afrika yang saat ini menjalin kerjasama ekonomi yang cukup baik dengan pemerintah Korut. Begitupun, beberapa negara Afrika kecil seperti Namibia, nampaknya dengan terpaksa membatalkan kontraknya dengan beberapa perusahaan Korut.

Bahkan Mesir dan Uganda yang relatif cukup kuat di kawasan Afrika, tak urung juga menghentikan kerjasama di berbagai bidang dengan Korut. Desakan kuat AS untuk mengisolasi Korut, nampakhya ibarat efek domino. Dalam arti akan semakin banyak negara, baik yang jelas-jelas merupakan sekutu AS maupun yang sekadar negara sahabat AS, untuk mengikuti langkah-langkah yang sudah diambil negara-negara sekutu AS dalam mengisolasi dan mengembargo Korut di bidang ekonomi.

Aksi sepihak Trump dalam melakukan blockade ekonomi terhadap Korut, pada perkembangannya akan mempertajam persaingan global antara AS dan blok Barat di satu sisi, dan blok Cina-Rusia pada sisi yang lain. Yang mana akhirnya akan menciptakan kembali polarisasi antar negara-negara adikuasa di kawasan Asia Pasifik. Sehingga barang tenttu, negara-negara di kawasan Asia-Afrika pun akan ikut terbelah akibat Proxy War yang dilancarkan baik oleh Kubu AS-NATO versus Cina-Rusia.

Mengantisipasi skenario terburuk semacam itu, saatnya Indonesia kembali menghidupkan semangat solidaritas Asia-Afrika di Bandung 1955, serta mengaktualisasikan kembali Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif sesuai dengan tentangan zaman yang kita hadapi saat ini.[]

Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institut (GFI)

(kl/grv)

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/resensi-buku-pre-order-eramuslim-digest-edisi-12-bahaya-imperialisme-kuning.htm