Sandi Effect, Magnet Pendulang Suara

Sandi Effect Lebih dari SBY Effect

Di tahun 2004, konon kemenangan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono itu didulang dari emak-emak, yang kesengsem dengan ketampanannya. Gagah bak Patih Gajah Mada. Kaum emak lebih memilihnya ketimbang memilih Ibu Megawati yang sebagai pejawat saat itu. Itulah pilihan rasional kaum emak yang memilih lelaki tampan daripada menjatuhkan pilihan pada jenis kelamin yang sama dengannya.

Itulah SBY Effect di 2004, dan lagi pada 2009, saat dia tampil sebagai petahana, yang tidak memiliki lawan sepadan ketampanannya. Dan, menang menjadi presiden Indonesia untuk lima tahun berikutnya.

Setelah itu Pak Jokowi muncul sebagai presiden berikutnya, sebagai antitesa dari semua itu. Wajah biasa-biasa saja, jika bicara tersendat-sendat, badan kurus dengan pakaian sederhana, mampu menyihir para pemilih untuk memilihnya.

Saat ini Jokowi sebagai pejawat, tampil sebagai capres dengan menggandeng ulama besar, Ketua Syuriah NU dan Ketua MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin. Pilihan yang tidak salah, pilihan tepat untuk menjaring suara umat Islam, khususnya kaum Nahdliyin yang begitu besar.

Pejawat akan melawan tidak saja Prabowo Subianto sebagai capres, tetapi tidak kalah beratnya melawan Sandiaga sebagai cawapres dari Prabowo. Bisa jadi mengalahkan Prabowo tidak lebih sulit dari mengalahkan Sandiaga.

Bahkan analisa menyebut dengan sesumbar demikian, lupakan Jokowi, lupakan Prabowo, dan pilih Sandiaga. Sesumbar yang berlebihan, tapi tidak mustahil di 2019 Sandi Effect akan melebihi SBY Effect, akan jadi realita pemimpin masa depan di republik ini. Bandulnya akan berputar sebagaimana pilpres 2004, di mana SBY berhasil memulainya.

Magnet pendulang suara itu ada pada Sandi untuk menarik pemilih milenial dan emak-emak rasional, yang pasti akan memilih ‘suami’ tampan, saleh dan tajir. Head to head Jokowi versus Sandi.[kk/gelora]

*Penulis: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan