Pelangi Retak (Bag. 12)

Hatiku semakin hancur luluh. Membayangkan betapa pahitnya kenyataan yang harus dia terima. AIDS? Oh, penyakit mematikan itu telah menyapa sahabatku dan akan menjadi teman setianya di hari-hari terakhirnya menanti ujung usia.

Pelangi Retak (Bag. 11)

Klik. Telepon terputus. Hhh! Kenapa orang itu tidak mau menjelaskan sedikit lagi… Keraguan menyelimuti hatiku. Benarkah apa yang dikatakannya? Hilma? Pendarahan hebat?

Pelangi Retak (Bag.10)

Hilma…maafkan aku. Aku memang bukan sahabat yang baik. Bahkan tak pantas lagi disebut sahabat. Akulah orang yang paling pantas disalahkan kalau sekarang…

Pelangi Retak (Bag. 9)

Sudah dua kali handphone-ku berdering namun tak pernah kuangkat. Sengaja kuprogram silent agar suara ringtone-nya tak terdengar. Masih nama yang sama. Apa sih, maunya orang ini?

Pelangi Retak (Bag. 8)

Aku memang tidak punya alasan kuat untuk memilih keputusan ini. Aku hanya tidak ingin melangkah terlalu jauh. Apalagi berhadapan setiap hari dengan orang seaneh Mr. Aan Ardhantie…

Pelangi Retak (Bag. 7)

“Selama ini saya menganggap wanita itu bisa membawa madu perdamaian dan racun kehancuran. Pengalaman saya mengatakan bahwa hanya sekitar 10% wanita yang mampu membawa madu itu, sedangkan 90% sisanya adalah pembawa racun…"

Pelangi Retak (Bag. 6)

Rien… jangan munafik. Aku yakin, setiap orang pernah merasakan saat-saat di mana dia harus menangis dan kecewa. Hidup tak hanya pelangi, bukan? Akuilah!

Pelangi Retak (Bag. 5)

“Hidup itu mudah, Pak. Manusia sendirilah yang membuat hidup itu rumit. Manusia suka membesar-besarkan masalah yang dihadapinya. Mendramatisir suasana. Akhirnya, hidup mereka lihat tak ubahnya seperti jalinan benang ruwet…"

Pelangi Retak (Bag. 4)

Bulu kudukku bergidik. Entah perasaan apa saja yang bercampur aduk di hatiku saat itu. Takut, heran, kaget, marah, bingung dan entah apa lagi. Yang jelas, aku sempat menatap manajer aneh itu dengan tatapan tak berkedip…