Pelangi Retak (Bag. 13)

Pagi yang indah di Citra Persada…..

Ada selengkung pelangi yang mengantar keberangkatanku tadi. Jalanan juga tak seramai biasanya. Ah…pagi yang menyenangkan.

“Rien…kamu terlihat lebih segar pagi ini. Selamat ya!”

Sapaan bu Indah yang selalu ramah seperti biasanya. Heran juga, tiga bulan di sini aku tak pernah bisa menyainginya untuk tiba lebih awal di kantor.

Tapi apa tadi katanya? Selamat? Atas apa? Padahal kemarin aku sudah menyiapkan diri untuk menerima keluhannya atas hasil presentasiku yang kurang memuaskan. Ditambah lagi kemarin aku nggak masuk dengan alasan sakit, padahal aku menjenguk Hilma.

“Makasih, bu…” sahutku masih dalam ketidakmengertian.

“Sudah sehat, ya?”

“Ee… iya. Alhamdulillah. Tapi…selamat untuk apa, Bu?”

“Hm…masa sih belum tahu? Presentasimu kemarin berhasil meyakinkan pihak Mitra Mandiri dan mereka menyetujui kontrak kerja dengan kita. Semua design program, testing dan controling intern ekstern mereka percayakan ke kita. Dan ini… adalah proyek besar yang harus kamu tangani sungguh-sungguh. Ibu sudah memilihmu sebagai pimpinan konseptornya. Untuk aplication software yang tidak bisa kita buat sendiri bisa ibu carikan dari luar. Yang penting, sekarang kamu siapkan energi sebanyak-banyaknya untuk proyek ini.”

“Mm…kenapa harus saya, Bu?”

“Karena Ibu tahu kamu mampu. Jangan panik gitu dong! Be Confidence! Kamu masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Proyek ini baru akan mulai satu bulan lagi.”

“Satu bulan lagi?”

“Iya. Delegasi Mitra Mandiri yang menangani proyek ini masih mengurusi saudaranya yang sakit. Lagipula anak perusahaan yang akan kita tangani itu baru bisa beroperasi sekitar satu tahun ke depan. Oh ya, sudah tahu orangnya belum? Nanti kamu akan banyak bekerja sama dengannya.”

Aku hanya menggeleng meski sebuah nama sudah melintas di otakku.

“Janindra Setiawan. Biasa dipanggil Pak Indra.”

Deg! Kerongkonganku tercekat. Dugaanku tepat. Nama itulah yang tadi melintas di pikiranku. Makanya, laki-laki itu begitu yakin bahwa kami akan bertemu lagi dalam proyek selanjutnya. Ah…, sebuah tantangan baru menghadang jalanku.

Ya, Tuhan… bantu aku menstabilkan emosi… Jangan hanya karena ini aku akan punya pikiran untuk meninggalkan Citra Persada.

*****

Akhir pekan.

Aku berharap pekerjaanku tak terlalu banyak hari ini. Agar aku bisa pulang lebih awal dan menjenguk Hilma di rumah sakit. Sudah empat hari aku tak tahu keadaannya.

Aku baru akan memulai pekerjaan ketika Siemens-ku berdering. Kutatap sejenak nama yang terpampang di layar mungil itu. Mas Indra? Ada apa dia meneleponku sepagi ini? Tentang Hilmakah? Atau tentang proyek itu?

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salam… Li! Kamu bisa ke rumah sakit sekarang juga? Hilma mencoba bunuh diri. Dia butuh kamu saat ini. Emosinya sangat labil.”

“Hah? Bunuh diri?” darahku terkesiap. Inikah arti dari diamnya kemarin? Hilma…kenapa kau berubah sejauh ini?

“Li, bisa kan? Biar aku yang minta izin ke Bu Indah. Akan kukatakan bahwa ini ada hubungannya dengan proyek kita.”

Nah, benar kan? Mas Indra sampai bela-belain menunda proyek ini demi Hilma. Ada apa sebenarnya dengan mereka?

“Ng…nggak usah, Mas. Kukira Mas Indra nggak perlu berbohong. Biar aku sendiri yang minta izin, ” Tukasku cepat. Untuk apa pula dia membohongi atasanku? Bodoh! Kenapa pula aku tadi memanggilnya dengan sebutan mas bukan bapak. Ini kan kantor dan sekarang dia adalah mitra kerjaku.

“Yakin? Ya sudah, kalo gitu. Aku tunggu di rumah sakit.”

Klik. Telepon terputus setelah terdengar ucapan salam. Aku hanya bisa menarik nafas berat. Lalu melangkah gontai ke ruangan bu Indah.

“Permisi, Bu…”

“Eh, Rien. Masuk! Ada apa?”

“Sa…saya mau minta izin, Bu…” entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Ada segumpal perasaan tak enak di hatiku. Kemarin aku sudah nggak masuk. Sekarang minta izin pulang lebih awal… mana tanggung jawabku?

“Kenapa, Rien? Wajahmu pucat. Kamu sakit lagi?”

Aku menggeleng. Tapi wanita anggun itu memang punya empati yang cukup besar pada siapapun.

“Seharusnya kamu istirahat dulu di rumah. Sebelum benar-benar pulih kamu bisa izin. Mungkin badanmu terlalu lelah karena persiapan presentasi kemarin. Sudahlah, kesehatanmu jauh lebih penting. Sekarang, ibu izinkan kamu pulang. Segera ke dokter dan istirahat sebanyak mungkin. Makan yang bergizi. Oh ya, satu lagi… tenangkan pikiran!”

Duh, bu Indah…aku sampai bingung bagaimana caranya berterima kasih. Hanya hatiku yang tiada henti mengucapkan syukur bisa memiliki atasan sebaik dia. Sebenarnya aku ingin menjelaskan hal yang sebenarnya tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat…

Aku segera beranjak dari ruangan bu Indah. Tujuanku sekarang adalah rumah sakit!

*****

Kamar Hilma kosong. Apa dia dipindahkan ya? Mas Indra juga tidak kelihatan. Ponselnya tidak aktif.

“Sus, kok pasien di kamar ini nggak ada ya? Apa dia dipindahkan?” tanyaku pada seorang perawat yang kebetulan lewat di depan kamar Hilma.

“Oh, mbak Hilma… lho, Mbak ini siapa ya? Mbak Hilma kan sudah dibawa pulang?” seru suster itu heran mendengar pertanyaanku. Aku ikut-ikutan heran mendengar jawabannya.

“Dibawa pulang? Apa dia sudah sembuh? Kapan dibawa pulang?”

“Baru sekitar sejam yang lalu, Mbak. Belum sembuh total tapi menurut dokter…sebenarnya fisiknya sudah sembuh. Dia hanya mengalami depresi. Jadi, dokter menyarankan agar mbak Hilma ditangani psikiater.” Takut-takut perawat itu melontarkan penjelasannya.

“Berapa lama dia dirawat di sini, Sus?”

“Mm…kira-kira dua puluh hari, mbak.”

Dua puluh hari? Selama itukah? Kenapa Mas Indra baru menghubungiku empat hari yang lalu?

“Hm.. Sus, maaf, ini pertanyaan terakhir… Selama di sini, siapa saja yang sering menjenguknya?”

“Mm… sepertinya nggak ada, Mbak. Selama di sini hanya ada seorang laki-laki yang katanya kakak sepupunya. Laki-laki itulah yang selalu menemaninya saat dia di sini.”

Oohh… terjawablah sudah kebingunganku. Tapi aku tetap tak boleh mengambil keputusan karena emosi sesaat. Mungkin Mas Indra melakukannya karena kasihan. Hilma kan tidak punya saudara di sini. Mungkin juga, karena mereka memang punya hubungan khusus…