Pelangi Retak (Bag.10)

PENGGALAN 5

Kehilangan seorang sahabat memang sangat menyedihkan. Apalagi sahabat sebaik Hilma. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba dia menghilang. Sudah dua bulan aku tak berhasil menghubunginya. Pindah kos pun tanpa sepengetahuanku. Operator telepon di kantornya mengatakan bahwa Hilma sakit. Sakit apa? Kenapa begitu lama? Tak seorang pun dapat membantuku. Kenapa pula Hilma begitu tega tak memberi kabar padaku. Padahal, saat terakhir kami bertemu, tak ada masalah. Bahkan, dia sempat bercanda, “Li, kalau aku menikah nanti kamu bawa kado “Jaguar” ya…”katanya.

Tak henti-hentinya aku menyalahkan diriku sendiri yang terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga sempat melupakannya. Aku tak peduli kenapa suaranya tak pernah lagi muncul di horn telepon kosku. Aku juga tak peduli kenapa sms-sms nya tak lagi terpampang di layar mungilku. Sekarang, setelah aku menyadari kepergiannya, sepertinya sudah terlambat. Dia sudah sulit dilacak. Handphonenya nggak pernah aktif. Pasti sudah ganti nomor. Tapi untuk apa? Mungkinkah untuk menghindar dariku? Tapi kenapa? Apa salahku? Ah, gelap. Tak ada setitik keteranganpun yang dapat menjawab kebingunganku.

***

Dua minggu berikutnya…

Hilma…maafkan aku. Aku memang bukan sahabat yang baik. Bahkan tak pantas lagi disebut sahabat. Akulah orang yang paling pantas disalahkan kalau sekarang…

Mataku memanas. Layar mungil itu seakan berduplikasi menjadi ratusan layar. Demikian juga dengan tulisan mini yang menghiasinya.

Lili…maafkan aku. Aku bukan sahabat yang baik. Aku hamil, Li. Dengan dia…

Aku ingin menjerit. Kenapa secepat itu, Hil? Smsmu malam itu masih kusimpan rapi di inbox. Kau bilang bahwa kau jadian. Resmi pacaran dengan atasanmu. Dan setelah itu…kau menghilang. Pergi begitu saja tanpa pesan dan alasan. Mungkinkah kepergianmu karena…

“Rien…berkas-berkasnya sudah siap?”

“Eh…ya, Bu!” aku tergagap. Tanpa sadar aku melamun. Waktu lima belas menit yang diberikan bu Indah padaku untuk menyiapkan semua berkas-berkas itu berlalu sudah Tapi belum satu dokumenpun yang dapat kusiapkan.

“Bu, saya…” aku mencari pengertian di mata bu Indah.

“Kamu kenapa, Rien? Wajahmu pucat. Matamu juga agak merah. Kamu sakit?”

“Eh, nggak, Bu. Hanya saja… saya kurang fit hari ini. Tapi, gak pa-pa kok, Bu. Saya rasa saya masih bisa melakukan presentasi hari ini. Beri saya waktu lima menit lagi untuk menyiapkan semuanya, Bu. Tinggal nge-print sedikit lagi kok!”

Aku segera membenahi desain prototype yang kusiapkan beberapa hari terakhir ini. Kurang dari lima menit aku sudah menyelesaikan semuanya. Tak kupedulikan tatapan heran bu Indah yang kurasa mengawasi ketergesaanku dari mejanya.

“Jangan dipaksakan, Rien… Kesehatanmu jauh lebih penting. Biar ibu yang menggantikanmu.”

Ah, bu Indah. Kau memang selalu mengingatkanku pada ibuku. Bijaksana, penuh empati dan kasih sayang. Itulah faktor utama yang masih membuatku begitu betah di kantor mungil ini.

“Sudah siap, kok bu. Kita ke meeting room sekarang?”

“Ok! Tapi sepertinya ada yang perlu dibenahi…” bu Indah menunjuk ke arah jilbabku. Refleks aku berbalik ke arah cermin yang tergantung di sudut ruangan. Ya ampun… Bentuk jilbabku sudah mencong tak karuan. Untung bu Indah mengingatkan. Kalau tidak, presentasiku pasti tambah berantakan.

“Jajaran direksi perusahaan ini dikenal sebagai konglomerat yang manja, Rien! Mereka sangat disiplin, teliti dan rapi. Sangat menghargai profesionalisme. Bahkan dalam hal penampilan. So, kamu harus tampil perfect untuk meyakinkan mereka.” Bu Indah menjelaskan sambil menungguku merapikan jilbab.

“Begini cukup, bu?”

Aku berpose di depan bu Indah. Wanita tiga puluhan itu mengacungkan jempol ke arahku.

“Berdo’alah! Tidak ada yang menandingi kekuatan dari-Nya, bukan?”

Aku mengangguk. Yah, mungkin sekedar anggukan formalitas. Karena kegalauan hatiku akhirnya justru telah membuatku melupakan saran manajer lajang itu. Memang kuakui, akhir-akhir ini aku sepertinya kehilangan banyak hal dalam hubunganku dengan Tuhan… Ah, siapa yang harus kusalahkan? Pekerjaan? Atau justru diriku sendiri.

Presentasiku amburadul. Entah sudah berapa kali lidahku keseleo dalam melontarkan sebuah penjelasan. Kalimat-kalimat yang berhasil kubuat dengan susah payah pun, lebih banyak menghasilkan kerutan alis daripada segaris senyuman. Setelah keluar dari ruangan itu baru kusadari, bahwa aku telah melupakan satu hal besar yang seharusnya lebih kusiapkan.

Bu Indah, maafkan aku…nasehatmu belum kulaksanakan.

“Selamat, bu! Presentasi anda cukup meyakinkan. Sepertinya kita akan bertemu lagi sebagai mitra kerja dalam proyek berikutnya.”

Seorang eksekutif muda menjajari langkahku. Kulihat, dia adalah salah satu delegasi dari perusahaan calon mitra kerja kantorku. Tapi apa katanya barusan? Presentasiku meyakinkan? Nggak salah? Kulirik wajah itu. Lumayan…cakep. Tapi…kok sepertinya aku pernah melihatnya ya? Tapi di mana? Ah, jangan-jangan hanya perasaanku saja.

“Apa? Hh.. saya rasa anda terlalu berlebihan. Atau mungkin anda ingin menyindir saya. Saya tahu, presentasi saya jelek sekali dan mungkin hanya orang ngantuklah yang akan mengatakan presentasi buruk itu disebutkan meyakinkan.”

Aku menyadari nada ketus dalam suaraku. Sebuah ekspresi kekesalan karena orang itu justru mengatakan pujiannya pada saat yang tidak tepat.

“Anda terlalu merendah. Tapi bukan karena tadi saya tertidur kalau saya katakan bahwa presentasi anda sangat meyakinkan. Sampai jumpa dalam meeting berikutnya.”

PD amat orang itu. Memangnya posisi dia apa, sih? Kenapa dia begitu yakin bahwa dia akan bertemu denganku lagi…

Laki-laki itu mempercepat langkahnya. Meninggalkanku setelah menyelesaikan kalimatnya. Sepertinya dia agak tersinggung atas kata-kataku tadi. But, who care? Apa peduliku. Aku sudah kecewa dengan penampilan. Belum lagi, aku belum menemukan alasan terlogis yang akan kuberikan pada bu Indah atas kecerobohanku tadi. Tapi semua itu belum terlalu penting untuk saat ini. Ada hal yang jauh lebih penting dan harus kupikirkan…

Kutatap lagi deretan short message dari Hilma. Dengan cepat kutekan tombol panggil untuk nomor asing itu.

The number you are calling is not active or…

Hhhh!! Tidak aktif lagi! Hilma… kamu di mana sayang? Gimana keadaanmu? Pertanyaan demi pertanyaan kekhawatiran menghantuiku. Kenapa semua ini bisa terjadi?

(bersambung)