Pelangi Retak (Bag. 11)

Siang itu aku melanjutkan pekerjaan dengan perasaan gundah. Bu Indah tidak ada di ruangannya. Kata Tari, bu Indah pulang lebih awal tadi. Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan. Ah, berarti bu Indah bukan keluar dari meeting room lebih dulu. Bahkan mungkin, beliau tidak sempat melihat presentasiku tadi…syukurlah, berarti aku tidak perlu berbohong. Tapi…bu Indah kan bisa menonton rekaman CD-nya? Duh…kenapa semuanya kini jadi rumit?

Aku biasanya tidak pernah mempedulikan lingkunganku. Tiba-tiba aku seperti menjadi orang lain. Ada banyak hal yang seakan datang padaku secara serentak untuk menuntut perhatian. Perasaan bersalahku pada Hilma memaksa otakku untuk meneliti satu persatu kejadian yang kulalui hari ini. Mulai dari meja kerjaku yang kelihatan sangat berantakan karena tadi aku tergesa-gesa. Sampai gelas tehku yang kemasukan lalat gara-gara aku lupa menutupnya. Dan semua itu menyadarkanku, bahwa selama ini aku sering bertindak ceroboh dan kurang perhatian dengan lingkungan…..

***
“Assalamu’alaikum…”

“Wa alaikumsalam… Ini ibu Rienita, kan?”

“Ya, Anda siapa?”

Aneh. Darimana orang itu tahu nomor ponselku. Sepertinya aku pernah mengenal suaranya. Suara itu pernah…

“Mmm… ternyata ibu lupa dengan suara saya. Padahal baru kemarin kita bertemu. Sedikit berdebat bahkan. Karena Anda ternyata tidak percaya bahwa presentasi Anda meyakinkan…”

Aku berusaha mencari jejak suara itu di layar memoriku. Dan yah, pasti dia…

“Anda salah satu dari direksi Mitra Mandiri yang kemarin…”

“Yup, tepat sekali. Ternyata ingatan bu Rien masih cukup tajam. Sangat diperlukan oleh seorang IT seperti Anda. Karena biasanya seorang IT harus banyak menghafal password.”

“Tapi…maaf, saya tidak kenal Anda dan rasanya ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan urusan kantor. Ini hari libur dan saya terbiasa menggunakan hari libur saya untuk beristirahat.”

“Oh, maaf kalau saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya rasa saya tidak salah karena apa yang ingin saya sampaikan bukanlah masalah kantor. Dan saya yakin, masalah ini sangatlah penting bagi seorang Lili.”

Upss! Dadaku tersentak. Darimana dia tahu panggilan kecilku? Dan di Jakarta ini hanya Hilma yang memanggilku demikian.

“Apa maksud Anda!” nada suaraku meninggi. Kekesalanku memaksa pita suaraku agar menaikkan kekuatan gelombang suara yang diproduksinya.

“Maaf, Anda sahabat nona Hilma Ardhani kan?”

Kali ini jantungku yang berpacu lebih cepat. Darimana dia tahu tentang Hilma? Siapa sebenarnya orang ini? Apa yang dia ketahui tentang Hilma? Ketakutan merayapi hatiku. Jangan-jangan dia bermaksud jahat seperti dalam sinetron-sinetron yang kadang aku tonton…

“Tolong jelaskan, apa maksud Anda. Saya tidak punya banyak waktu.”

“Sahabat Anda itu sekarang sedang dirawat di bagian kandungan Rumah Sakit Siloam Lippo Cikarang. Dia mengalami pendarahan hebat.”

“Darimana Anda tahu?”

“Sebaiknya Anda segera ke sana. Anda tidak punya banyak waktu kan?”

Klik. Telepon terputus. Hhh! Kenapa orang itu tidak mau menjelaskan sedikit lagi… Keraguan menyelimuti hatiku. Benarkah apa yang dikatakannya? Hilma? Pendarahan hebat? Ah, bukankah seminggu yang lalu Hilma mengatakan dia hamil? Lalu sekarang, dia mengalami pendarahan…mungkinkah Hilma melakukan aborsi…

Hilma… ah, tidak ada waktu untuk berpikir lebih banyak. Perjalanan ke Lippo Cikarang memerlukan waktu sekitar satu jam. Belum lagi kalau macet. Lalu, kalau informasi itu ternyata salah, gimana? Duh, ruwet. Tapi, jalan tengah yang lebih aman adalah mencoba mempercayai informasi itu dan tetap ke rumah sakit. Apapun yang terjadi.

***

Rumah sakit itu cukup tinggi dan megah. Entah terdiri dari berapa puluh lantai. Hampir sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca. Dan dinding itu memantulkan warna langit yang kebiruan sehingga menghasilkan gradasi pelangi yang mengagumkan. Fantastis. Sayang, aku tidak punya waktu terlalu banyak untuk meneliti detil bangunannya lebih jauh.

Lagipula, sebagus apapun bangunannya, gedung itu tetaplah bernama rumah sakit. Tempat di mana wajah-wajah penuh kekhawatiran, penuh kesakitan, berlukis bayang kematian dan ketakutan, bertemu di sana.

“Mbak, ada pasien yang bernama Hilma Ardhani?” tanyaku penuh harap di bagian informasi.

“Sakit apa, Bu?” seorang resepsionis cantik balik bertanya.

“Hm… pendarahan, hm…kandungan, mbak!” sahutku gugup. Aku bingung harus menjawab apa. Aku sendiri tidak tahu pasti apakah Hilma benar-benar dirawat di sini atau tidak.

“Sebentar saya lihat, Bu…” wanita muda itu kemudian terlihat mengetikkan sesuatu pada tuts keyboard di depannya. Dan…

“Kamar D 202, Bu! Arahnya ke kanan lalu dari sana ibu naik lift ke lantai 4. Ruangan pasien kandungan terletak persis di depan lift.

Hatiku sedikit lega mendengar penjelasan resepsionis itu. Terlupa mengucapkan terima kasih, setengah berlari aku melangkah menuju ke arah yang ditunjukkan tadi. Ah, tak apa. Nanti saja terima kasihnya. Pasti resepsionis itu telah terbiasa dengan sikap-sikap kebingungan dan kepanikan. Namanya juga rumah sakit…

***
Hilma terbaring lemah di atas ranjang. Sebuah jarum infus menancap di lengan kirinya dan jarum transfusi di lengan kanannya. Lubang hidungnya tersumbat selang oksigen. Wajahnya begitu pucat dan tirus. Nyaris seperti tak berdarah. Pasti Hilma telah mengalami kehilangan banyak darah. Lalu bagaimana nasib janin yang dikandungnya? Selamatkah? Ah, aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri.

Hil…begitu beratkah penderitaanmu…secepat inikah waktu tiga bulan membuat perubahan dalam hidupmu…

Aku duduk di sisi pembaringan dengan hati teriris. Kutatap mata Hilma yang begitu cekung dan terpejam dengan berat itu. Berat. Seperti ada ribuan kilo beban yang menggantung di sana.

Sekilas aku teringat ibu. Seberat itukah dulu penderitaannya saat akan melahirkanku. Kusentuh lembut tangan Hilma. Rindu mengguncang hatiku. Di mana sahabatku yang dulu selalu tersenyum dan konyol. Di mana Hilma yang selalu melontarkan kalimat-kalimat semangatnya di saat aku rapuh.

Hil… maafkan aku. Aku tak di dekatmu saat kau mesti menghadapi saat tersulit itu. Aku hanyalah sahabat yang begitu bodoh dan datang terlambat saat kau telah jadi seperti ini…

Tetesan air mataku yang jatuh tanpa kusadari, mengenai lengan Hilma. Dan mata cekung itupun perlahan membuka. Wajah tirusnya terlihat semakin tua.

“Li… Kau? Kapan datang?” ada keterkejutan yang kutangkap di mata cekung itu. Tak tahukah dia bahwa aku datang?

“Baru saja, Hil. Maafkan aku… Apa yang terjadi, sayang?” satu lagi air mataku terjatuh. Kuusap anak rambut yang jatuh di dahi Hilma. Sekedar mencari kekuatan agar aku tak terlihat sedih di depannya.

“Ceritanya panjang, Li… Kau masih bertahan di Citra Persada? Selamat ya!”

Hilma masih mengucapkan sepotong kalimat itu sebelum kemudian air matanya membelah pipinya yang mulai keriput. Kugenggam erat tangannya. Seakan ingin menyalurkan kepingan partikel semangat yang baru saja kutemukan.

“Li, aku yang harusnya minta maaf. Aku bukan sahabat yang baik. Aku munafik, aku bodoh, Li…” serunya dalam isak tangis yang menyayat.

Oh, Tuhan… Sedalam apa pengkhianatannya pada-Mu?