Pelangi Retak (Bag. 12)

“Hilma…sudahlah. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Kalau kau ingin berbagi padaku, mungkin beban itu akan sedikit terkurangi… Aku masih sahabatmu yang dulu, honey…”

“Li…aku malu padamu. Kini, tak hanya masa laluku yang hancur. Tapi aku juga tak mungkin lagi memiliki masa depan. Mungkin lebih baik aku mati…”

Hatiku semakin galau. Aku benar-benar telah kehilangan Hilma-ku yang dulu penuh semangat.

“Sstt! Hil… kamu nggak boleh ngomong gitu. Kamu tidak kehilangan semuanya. Kamu masih punya aku. Dan yang pasti, kamu masih punya Allah… Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kita bisa bertahan…”

“Allah mungkin sudah membenciku, Li…”

Aku terhenyak. Ya, Allah… ampuni Hilma. Itu pasti bukan pribadinya yang sesungguhnya… dia hanya termakan emosi sesaat.

“Hil… masa lalu sudah berlalu. Sedangkan masa depan belum pasti. Yang kita miliki hanyalah hari ini. Jadi, kita masih bisa melakukan banyak hal untuk hari ini. Optimis, ya… aku ingin melihat Hilma yang dulu. Yang penuh semangat. Suka guyon…”

“Li, kau tak akan berkata seperti itu kalau berada dalam posisiku. Aku tak tahu ke mana lagi berharap. Allah telah menghukumku. Setelah pendarahan itu, aku tak hanya kehilangan anakku. Tapi aku juga… harus menjadi penderita A…IDS…”

Tangis Hilma semakin menjadi. Hatiku semakin hancur luluh. Membayangkan betapa pahitnya kenyataan yang harus dia terima. AIDS? Oh, penyakit mematikan itu telah menyapa sahabatku dan akan menjadi teman setianya di hari-hari terakhirnya menanti ujung usia.

Ya Allah, kenapa separah itu? Kenapa seberat itu ujian yang Kau berikan padanya?

“Hilma…ampunan-Nya jauh lebih luas daripada dosa-dosa kita. Please, jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Yakinlah, kamu masih punya banyak hal. Kamu masih punya banyak orang yang menyayangimu… Kamu harus yakin, Hil!”

Aku sudah kehabisan kata-kata untuk bisa meyakinkan Hilma. Padahal, baru kemarin aku bersyukur bahwa Hilma jauh lebih beruntung daripada aku. Tapi sekarang? Dia begitu rapuh. Dia begitu pantas dikasihani. Dan, aku semakin menyadari bahwa kita tak pernah punya apapun dalam hidup ini… selain harapan pada-Nya.

“Hil, kamu harus tegar. Allah akan menguji hamba yang disayangi-Nya. Dan ujian itu tidak akan pernah melebihi kemampuan kita… Dia memberikan penyakit itu padamu karena Dia Maha Tahu bahwa kamu akan mampu melawannya…”

“Semua orang akan menghina aku, Li. Menjauhiku. Lalu apalah artinya hidup ini ketika tak lagi bisa berguna bagi orang lain…”

“Hil, orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, melainkan orang yang menyadari kesalahannya dan memperbaikinya.”

“Kau tahu penyakit ini tidak ada obatnya. Lalu, darimana aku akan memperbaikinya?”

“Dengan menatap hidup ini sama seperti sebelum kamu dihinggapi penyakit itu. Toh, dia hanya merusak fisikmu. Jangan biarkan dia menggerogoti jiwamu. Kamu harus bangkit, Hil… Aku percaya padamu!”

Hilma diam. Aku berharap kata-kataku akan menyentuh hatinya. Karena pada saat-saat seperti ini, bahasa hati akan jauh lebih bermakna untuk memberikan pencerahan.

***

Aku berjalan meninggalkan kamar Hilma dengan perasaan berat. Ingin rasanya aku terus menemaninya di sana. Tapi dokter yang menanganinya hanya mengizinkan jam besuk yang sangat terbatas. Dan kini… Hilma sendirian di ruangan itu. Ah, betapa sepinya. Semoga dalam kesepian itu Hilma dapat menemukan banyak hal yang akan mampu membuatnya bangkit dari keputusasaan.

“Lili..!!”

Suara itu melengking di daun telingaku. Membelah lorong rumah sakit yang mulai lengang. Sepertinya tak ada orang lain selain aku. Tapi mungkinkah teriakan itu ditujukan padaku? Di Jakarta, tak ada yang memanggilku Lili selain Hilma. Mungkinkah dia…?

“Li, sudah ketemu Hilma?”

Aku berbalik. Suara itu terdengar tepat di belakang tubuhku. Dan pemilik suara itu…

“Ee… iya. Baru saja saya dari kamarnya. Anda sia..a..pa?”

Ah, bodoh. Aku mengenal wajah tampan itu. Tapi kenapa aku bisa lupa namanya? Ah, bukan lupa. Aku hanya…

“Kamu lupa ya?”

“Perkenalkan, Janindra Setiawan. Mantan kapten basket SMU 2 Panarukan!”

Aku tersenyum kecil melihat caranya memperkenalkan diri. Ah, Mas Indra. Dia masih seperti dulu. Kakak kelasku yang kocak dan penuh pesona. Mantan kapten tim basket ini juga mantan playboy sekolah. Hampir semua cewek cantik di sekolah pasti ditaklukkannya. Hm… nostalgia masa lalu. Tapi…kenapa dia bisa ada di sini?

“Iya, aku ingat sekarang. Lho, darimana Mas Indra tahu kalau Hilma dirawat di sini?” aku menatap heran laki-laki bertubuh jangkung itu.

“Kamu sendiri? Tahu darimana kalau Hilma dirawat di sini?”

Aneh. Sepertinya Mas Indra menyimpan sesuatu. Kalau tidak, kenapa pula dia balik bertanya?

“Tadi… ada seseorang memberitahuku, ” tuturku ragu.

“Kau tahu orang itu siapa?”

Aku mengingat-ngingat wajah seseorang dan bayangan eksekutif muda itupun tercetak sempurna di layar memoriku…

“Jadi, Mas Indra yang meneleponku? Mas Indra juga yang memuji presentasiku yang kacau itu, hah? Dasar!!” aku pura-pura marah. Kesal juga dipermainkan olehnya. Yah, mungkin aku saja yang kurang teliti. Maklum, sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu. Sejak dia lulus SMU.

“Selamat. Tebakan anda benar!” ujar Mas Indra meledekku. Aku tersipu. Malu.

“Mas Indra kok masih ingat aku, sih? Nggak takut salah orang ta?”

“Kamu aja yang nggak konsen. Kalau kamu mau melihatku kemarin pasti sudah tahu kalau itu aku. Lagipula, siapa yang akan lupa dengan caramu presentasi. Masih gayamu yang dulu…menunduk. Nggak mau liat audience yang memang cowok semua. Takut ditaksir, ya?”

“Jadi bener kan? Presentasiku jelek?”

“Perusahaan nggak akan liat caramu presentasi tapi model prototype yang kamu ajukan. Makanya, aku bilang bagus. Karena baru kali ini aku melihat sebuah desain sistem yang begitu teliti dan internal controlling yang cukup kuat. Aku tak yakin, itu murni hasil karyamu.”

Ah, Mas Indra memang selalu sok tahu. Jelas aja bukan murni hasil karyaku. Aku kan baru tiga bulan di Citra Persada. Mana bisa menghasilkan desain sebagus itu.

“Manajerku adalah seorang system analist yang handal, Mas. Dia yang membantuku.”

“Sudah kuduga. Eh, kok malah ngomongin soal kantor sih. Gimana keadaan Hilma?”

Ya ampuuunn…. Kenapa aku jadi sibuk dengan reuni kecil ini. Sampai-sampai melupakan Hilma. Ternyata Mas Indra masih membawa pesona itu di hatiku. Dulu aku sempat memperjuangkan bagitu banyak cara agar bisa mendapatkannya. Tapi justru Hilmalah yang berhasil merebut hatinya dan mereka sempat pacaran. Ah, masa lalu.

Tapi…kenapa Mas Indra yang tahu lebih dulu tentang keadaan Hilma ya? Apakah selama ini mereka masih berhubungan? Mungkinkah… yang menghamili Hilma itu Mas Indra?

“Gimana keadaan Hilma, Li?” Mas Indra mengulang pertanyaannya ketika dilihatnya aku diam saja.

“Mm… dia masih lemah. Tapi sudah mampu bicara. Kami sempat bercerita tentang banyak hal tadi…” susah payah aku merangkai kalimat-kalimatku.

“Lalu, sekarang kamu mau ke mana?”

“Pulang.” Jawabku pendek.

“Naik apa?”

“Taksi, ” sahutku kemudian

“Oh, ya udah. Hati-hati ya…”

Aku mengangguk dan meninggalkannya dengan perasaan galau yang masih menghantuiku.