Mimpi Basah Dalam Hadits Shahih

Dalam hadits ini, mimpi basah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penanda bahwa seseorang sudah baligh dan dikenai kewajiban (taklif) sebagai seorang Muslim yang mukallaf.

Wanita Pun Mimpi Basah

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim Rahimahumullah meriwayatkan dari sahabat mulia Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Ummu Tsulaim Radhiyallahu ‘anha mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak malu dalam menjelaskan kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika mimpi basah?” tanya Ummu Tsulaim.

“Ya,” jawab Nabi yang mulia, “wanita wajib mandi jika melihat (keluar) mani.”

Mendengar pertanyaan Ummu Tsulaim, Ummul Mukminin Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha yang saat itu berada di sisi Rasulullah pun tertawa, lalu bertanya, “Apakah wanita juga mimpi basah dan mengeluakan air mani?”

“Iya,” jawab baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “dari mana seorang anak bisa mirip (dengan ayah atau ibunya jika bukan karena air mani keduanya)?”

Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan perbedaan air mani laki-laki dan perempuan. “Air mani laki-laki kental dan berwarna putih, sedangkan air mani wanita halus dan berwarna kuning.”

Dari shahihnya riwayat-riwayat tentang mimpi basah dan air mani ini, hendaknya kaum Muslimin memperhatikan dengan baik. Di sana ada hikmah agung terkait cara mendidik anak-anak. Sebagai orang tua, kita harus mendidik anak-anak terkait hal ini.

Mimpi basah pertama kali sangat berkesan dalam benak seorang anak sebab sensasi nikmatnya. Jika tidak diarahkan sesuai syariat, seorang anak berkemungkinan untuk mencari tahu dengan cara yang tdak benar, lalu melampiaskannya dengan cara yang salah, baik dengan masturbasi atau menjalin hubungan zina dengan sesama atau lawan jenis.

Orang tua hendaknya memberikan pemahaman, bahwa setelah mimpi basah ada kewajiban yang harus dikerjakan, lalu seorang anak disiapkan agar segera memasuki jenjang pernikahan jika sudah mampu, atau mengisi harinya dengan kesibukan belajar, membaca, dzikir, dan membaca al-Qur’an al-Karim sehingga syahwatnya terjaga jika belum mampu menikah.

Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]