Duh, Sulitnya Ber-husnuzhan

Kawan lama saya bercerita sambil tertawa-tawa. Ia teringat masa mudanya, ketika ia masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas di bilangan selatan Jakarta. Ketika itu ia sedang ada masalah dengan teman sekelasnya.

Seperti anak-anak remaja lain, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermacam kegiatan. Di luar waktunya untuk sekolah, ia juga aktif di kerohanian sekolah, pramuka, dan beberapa kegiatan lain, termasuk kursus menghafal qur’an dan waktu untuk berkumpul dengan teman-teman dekatnya.

Banyaknya kegiatan yang diikuti membuatnya bertemu dengan banyak orang dengan beragam karakter. Cocok atau tidak cocok dengannya. Ia tidak bisa memilih.

Ketika itu, sepulang sekolah kawan saya sedang berjalan bersama beberapa orang temannya. Ketika melewati tumpukan sampah di depan rumah warga dekat sekolahnya, kawan saya yang kala itu umurnya tidak lebih dari tiga belas tahun spontan menutup hidung sambil membuang muka, menghindari sumber u busuk dari tumpukan sampah yang dilewatinya, sembari berkata, “Uh! Bau, ih!”

Peristiwa itu berlalu begitu saja sebagai slice of life yang biasa ditemuinya setiap hari. Ia tidak pernah sedikit pun memikirkan peristiwa itu, seperti ia tidak memikirkan si tukang palak yang meminta uang sambil mengancam, atau copet yang hampir setiap hari ditemuinya di dalam bus kota. Pikirannya sudah dipenuhi dengan urusan lain yang dianggapnya jauh lebih penting seperti persiapan ulangan, jadwal latihan pramuka, dan lainnya.

Setelah meminum seteguk air dari gelas di tangannya, kawan saya meneruskan ceritanya. Beberapa hari kemudian ternyata ia baru menyadari bahwa salah seorang temannya menjaga jarak dengannya. Ia lebih terkejut lagi ketika mengetahui temannya itu sudah beberapa hari menjauhinya karena tersinggung.

Ternyata, dalam perjalanan pulang saat itu, tanpa disadarinya, ia berpapasan dengan seorang teman lain yang sedang berjalan sendirian ke arah yang berlawanan. Ia tidak menyadari kehadiran temannya itu di arah berlawanan karena sedang serius berbincang dengan rombongannya.

Ketika dikonfirmasi langsung, salah seorang temannya yang menjaga jarak itu menyatakan bahwa ia merasa tidak dipedulikan, bahkan merasa terhina karena saat itu kawan saya tidak menyapa dan membuang muka, lengkap dengan aksi menutup hidung dan berkomentar “Uh, bau ih!!” tersebut.

Kawan saya segera meluruskan masalah. Ia menceritakan semua yang sebenarnya terjadi. Apa adanya. Bahwa ia sungguh tidak melihat keberadaan temannya itu di dekatnya, dan bahwa ia menutup hidung karena menghindari bau busuk sampah. Ia pun tak lupa meminta maaf atas ketidaksengajaannya menyinggung perasaan temannya itu. Hasilnya? Temannya pun tersenyum kembali sambil ikut meminta maaf, dan mengatakan bahwa seharusnya ia tidak perlu se-sensitif itu, bila ia mampu ber-husnuzhan.

Cerita kawan saya di atas hanya satu dari beribu bahkan berjuta kesalahpahaman yang pernah terjadi di kehidupan sehari-hari. Hampir setiap waktu kita membutuhkan orang lain, dan dari interaksi itulah kerap kali timbul salah paham-salah paham yang menjadi kerikil dalam komunikasi.

Hampir setiap hari kita melakukan kesalahan. Baik yang disadari maupun tidak. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk melakukan taubat setiap hari. Bukan sekadar bila melakukan kesalahan saja.

Kita tidak selalu menyadari apakah kata-kata yang terucap melukai perasaan seseorang atau tidak. Sikap kita membuat orang lain tersinggung atau tidak. Dan hal-hal lain yang kita lakukan selama berinteraksi dengan orang lain.

Seperti juga kita tidak mengetahui maksud seseorang ketika perkataannya atau tingkahnya menyisakan perasaan tidak nyaman bagi kita. Entah sedih, senang, malu, atau marah. Lawan komunikasi kita di segala aktivitas yang kita lakukan tidak pula memahami tiap tutur dan tindakan kita yang kita sengaja maupun yang tidak kita sadari terjadinya.

Karena setiap saat kita dapat menjadi orang yang melukai atau dilukai atau keduanya dalam waktu yang bersamaan setiap saat, maka kita amat perlu memelihara dan memupuk kemampuan untuk berbaik sangka, berlapang dada, berani mencegah prasangka buruk dengan berani bertanya mengenai duduk permasalahannya. Dan yang paling akhir adalah berani meminta maaf atau memaafkan bila kita memang salah atau ketika orang lain meminta maaf.

Ge’