Ramadhan Mengajarkan Optimisme

Ternyata kesungguhan dan niat baik saja itu tidaklah cukup. Itulah hikmah lanjutan yang saya peroleh. Ia harus didukung oleh perangkat lain, yaitu berupa budaya jujur dan sistem pengawasan yang memastikan kejujuran itu bisa ditegakkan. Pada kasus Yulianto, bisa saja pengemudi taksi itu berbohong bahwa tidak ada barang milik penumpang yang tertinggal di taksinya. Namun dengan pemantauan pergerakan taksi dan jam-jamnya yang terkomputasi dengan baik, maka pengemudi taksi tidak bisa berkilah ketika dikonfirmasi bahwa ada barang milik penumpang yang tertinggal di taksinya.

Dalam konteks kehidupan bernegara, negeri kita ini adalah negeri yang memiliki kekayaan yang luar biasa. Untuk memastikan bahwa kekayaan itu tersimpan dengan aman dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dibutuhkan perangkat yang bernama budaya jujur dan sistem pengawasannya.

Tiadanya budaya jujur dan sistem pengawasan yang baik, memang sangat menyulitkan bagi pihak-pihak yang memiliki niat baik dan kesungguhan untuk memperbaiki bangsa ini ke depan. Tetapi hendaknya hal ini tidak menjadikan mereka bersikap apatis dan putus harapan. Jika apatisme dan pesimisme mendominasi sebagian besar elemen bangsa ini, saya khawatir keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini akan semakin mendekati titik nadhirnya.

Membangkitkan kesadaran dan bersikap optimis, adalah upaya-upaya relevan untuk mengangkat derajat bangsa ini dari keterpurukan. Bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan, demikian Allah Swt berfirman dalam Al-qur’an.

Berkait dengan Ramadhan yang sebentar lagi tiba, sesungguhnya Ramadhan itu mengajarkan optimisme. Hal ini terbukti dari doa yang selalu dibaca oleh Nabi Saw ketika memasuki bulan Rajab, ”Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah umur kami di bulan Ramadhan.” (HR Imam Ahmad dan Ath Thabrani).

Optimisme juga ditunjukkan oleh doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi Saw ketika berada di bulan Ramdahan, “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon ridha-Mu dan surga, dan kami berlindung kepada-Mu dari azab-Mu dan neraka.”

Optimis bahwa Allah akan memberikan pengampunan dan optimis bahwa Allah akan memasukkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, hendaknya diwujudkan pada hari-hari menjelang dan selama pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan. Optimisme inilah yang meluruskan niat dan membulatkan kesungguhan. Tanpa optimisme─yang merupakan konsekuensi dari nilai keimanan, maka Ramadhan akan kehilangan makna kesejatiannya dan terasa tiada beda dengan bulan-bulan yang lain.

Ramadhan adalah momentum yang tepat untuk membangkitkan niat, membulatkan kesungguhan dan optimisme untuk meraih kejayaan dunia dan akhirat.

Marhaban Ya Ramadhan

Waallhua’lamu bishshawaab.[]