Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (6)

Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.

Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “…Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut… Apakah ada yang ingin bertanya?”

Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2]juga bisa dianggap sebagaiThagut?”

Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil….”

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.