Dr. Syahganda Nainggolan: Merdeka, Persatuan dan Perpecahan

Dalam tulisannya Pigai menginginkan bahwa urusan Suku dan Agama adalah “Red Line”. Jangan gampang diumbar umbar alias digoreng. Melewati batas “red line” dapat membuat semua tidak terkendali alias perpecahan. Sedangkan dalam video orang2 Papua, sudah dikeluarkan ultimatum bahwa pemuda Papua akan siap memobilisasi kekuatan untuk mengusir semua suku non Papua, apabila kasus Surabaya tidak selesai dengan cepat. Selesai artinya cabut pernyataan rasialis dan keluarkan mahasiswa Papua yang ditangkap. Gerakan pemuda Papua ini sudah mulai direalisasikan di Papua Barat, di Monokwari pagi ini. Gedung DPRD diberitakan dibakar dan ancaman pengusiran orang2 non Papua sudah dilakukan.

Peringatan Pigai baru satu dimensi dari persoalan perpecahan kita.

Soal UAS tadi juga mempunyai potensi yang tidak kalah bahayanya. Istilah “Red Line” dari Bung Pigai harus dipahami dengan dalam. UAS sudah mengatakan bahwa soal “Salib” itu sangat tertutup dalam jamaah yang terbatas di pengajiannya 3 tahun yang lalu. Orang2 lalu mengatakan apa bedanya dengan Ahok dahulu?

Dalam semua agama, keyakinan itu tidak bisa ditawar. Banyak Ulama2 Syiah di Iran misalnya, menuduh istri Rasulullah, Siti Aisyah, adalah penjahat. (Semoga Allah melindungi Sayidah Siti Aisyah). Tapi, video2 tentang itu adalah video dalam majelis terbatas. Masalahnya menjadi kacau karena internet membuat segala sesuatu yang tidak terbatas menjadi menyebar.

Namun menuduh kesalahan internet tidak bisa diterima. Khususnya bagi pendukung Ahok, mereka juga mengatakan penyebab kekacauan kicauan Ahok tidak akan terjadi jika tidak ada disebarkan di internet. Benarkah?

Kembali soal keyakinan, apalagi agama yang menganut konsep Tuhan dan Iblis, maka secara dogma pembagian utama narasi agama pasti jalan Tuhan atau jalan setan. Dalam sebuah keyakinan sebuah agama, jalan Tuhan adalah jalan yang sesuai ajaran agamanya. Sedang di luar agamanya adalah jalan setan. Lalu bagaimana kalau hp dan internet menjadikan pembicaraan eksklusif sebuah kelompok pengajian tersebar menjadi konsumsi publik? Apalagi kalau propagandis-progandis dan buzzer bekerja untuk meningkatkan ekskalasi kekacauan?

Kontrak Sosial Baru

Kontrak sosial awal bangsa kita adalah persatuan nasional antara suku bangsa, khsusnya tercatat dalam Sumpah Pemuda. Masalah “individual rights” belum menjadi klausul penting. Pertanyaan saat itu apakah kita butuh persatuan atau “persatean”. Pertanyaan ini untuk mengukur tingkat peleburuan antar suku menjadi bangsa atau menjadi Indonesia.

Jika kita merasa bisa bersatu dalam tingkat yang tinggi, maka ke Indonesia an akan menjadi utama dan kesukuan menjadi kedua. Ini belum ternasuk suku Arab dan Cina, yang awalnya dipersepsikan sebagai bagian bangsa aisng (bangsa timur jauh dalam klasifikasi Belanda).

Lebih tinggi dari persatuan adalah kesatuan. Kesatuan tentu saja sebuah cita cita atau bisa juga utopia. Sebuah bangsa yang sama sebangun seperti Hongkong saja tidak bisa bersatu dengan China daratan, meski sama2 China.

Jika persatuan terganggu, maka otonomi masing2 daerah suku bangsa bisa diperluas, ini sebuah “persatean”. Papua, Aceh dan Jogya sudah mempunyai otonomi yang maha luas. Jika semua daerah lainnya diberikan, maka persatean alias federalism menjadi kenyataan. Takut?