Suu Kyi dan NLD Dalam Orbit Skenario AS-Uni Eropa di Myanmar

The Open Society milik Soros tersebut kemudian membentuk jaringan terkontrol yang merajut setidaknya 100 NGO lokal di Myanmar. Salah satu NGO Myanmar yang terbesar secara khusus bergerak dalam melancarkan aksi pembentukan opini publik seperti Myanmar Institute for Peace and Security, Myanmar Institute for Strengthening Right, Institute of Strategy and Policy, dan yang lebih tendensius lagi, Anti-China Myanmar Committee for Monitoring the Chinese Pipeline, dan sebuah grup media “Myanmar Monitoring Media Group.”

Adapun dalam barisan staf struktur jaringan Amerika lainnya adalah the Foundation for Democracy Defense, the National Republic Institute, dan the National Democratic Institute). Kesemua mereka ini diberi status sebagai konsultan para pejabat pemerintah dan para politisi NLD maupun dari partai-partai progresif lainnya.

Melalui konstruksi fakta-fakta tersebut di atas, nampak jelas bahwa misi utama gerakan NGO internasional tersebut adalah memperkuat posisi politik NLD di Myanmar. Maka opini yang dibangun oleh para politisi NLD dan kurator-kuratornya dari Barat, berupaya mendeskreditkan dan membangun citra buruk terhadap militer Myanmar semaksimal mungkin. Menyingkirkan para perwira militer Myanmar dari birokrasi pemerintahan, dan memecah-belah kekuatannya yang solid dan kompeten sebagai aparat birokrasi pemerintahan Myanmar.

Baca juga sebagai perbandingan:

Peran LSM dalam Mempromosikan Neo-Kolonialisme

Alhasil, dengan hilangnya aparat-aparat birokrasi pemerintahan Myanmar yang kompeten di jajaran administrasi pemerintahan, maka situasi birokrasi dan administrasi pemerintahan Myanmar yang tidak kondusif dan tidak berdisiplin tersebut, maka dengan mudah AS dan pihak Barat dengan berkolaborasi bersama para elit politik sipil NLD, sepenuhnya memegang kendali kekuasaan terhadap arah kepentingan politik dan ekonomi Myanmar.

Titik puncak Barat dalam merealisasikan skemanya di Myanmar bertumpu pada kampanye pemilu pada 2020 lalu. Baik AS maupun Uni Eropa memobilisasi sumber-sumberdaya yang signifikan untuk memperkuat posisi NLD yang sudah berada dalam kendali kontrol AS dan Uni Eropa.

Maka itu AS mengerahkan teknisi-teknisinya yang menguasai perangkat lunak disatupadukan ke dalam misi agar NLD dalam posisi diuntungkan dalam hasil pemilu. Beberapa organisasi nasional yang berpengaruh atas biaya dari Barat, seperti the Yangon Institute for Political Studies), terlibat dalam riset-riset sosiologis. Namun riset tersebut hanya kedok untuk membangun disinformasi dan penyebaran berita bohong.

Begitu pula People’s Alliance for Credible Election Myanmar (PACE), melancarkan aksi propaganda melalui jaringan sosial dan media di Myanmar. Dan untuk menjamin hasil akhir pemilu yang memenangkan Aung San Suu Kyi dan NLD, maka para konsultan NLD  dari Amerika dan Eropa tersebut menggunakan teknologi perangkat pemilu yang cukup mencurigakan (dubious electoral technologies) yang sudah teruji  berhasil diterapkan di beberapa negara.

Menurut laporan dari lembaga pemantau independen pemilu pada November 2020 di 315 distrik pemilihan, ditemukan ada 5,8 juta dalam daftar pemilih yang ada dalam daftar Komisi Pemilihan Umum dengan identitas ganda. Ada nama-nama dari anak-anak yang belum dalam usia yang bisa ikut pemilih maupun nama-nama orang-orang yang sudah meninggal sekitar 100 tahun yang, tercantum dalam daftar pemilih. Belum lagi ada 4,6 juta warga negara yang tidak punya kartu tanda penduduk. Dengan demikian total kecurangan dan kesalahan-kesalahan yang aneh dan misterius, ada sekitar 10,5 juta. Jadi sekitar seperempat dari pemilih yang terdaftar.

Hasil akhir pemilu yang diorganisasikan menurut pola Barat, memungkinkan bagi NLD, atas saran dari beberapa supervisor mereka, untuk mengumumkan rencana menyelenggarakan referendum, sehingga membuka jalan untuk merubah aturan-aturan yang ditetapkan sesuai konstitusi 2008 yang memberikan hak-hak politik khusus kepada Angkatan Bersenjata Myanmar.