Berdagang Kemiskinan

Near Poor dan Harga Telur

Ruchir Sharma, dalam bukunya The Rise and Fall of Nations, sub judul “the price of onion“, menceritakan bagaimana harga bawang jadi polemik besar dinegaranya, India, beberapa tahun lalu. Kenaikan harga bawang saat itu menjadi polemik nasional, karena semua orang India hidupnya hancur tanpa makanan berbumbu bawang.

Sebaliknya, harga bawang yang tinggi, telah menggerus kantong orang-orang miskin dan utamanya, orang orang yang sedikit di atas kemiskinan.

Di Indonesia, harga  telur melambung Rp 30.000 beberapa waktu lalu, dari sewajarnya Rp 20.000 per kg. Menteri perdagangan mengatakan harga naik karena ada kejuaraan bola “World Cup”, ada juga yang mengatakan karena harga pakan naik akibat dollar meroket, ada juga yang mengatakan efek lebaran, dll. Intinya terjadi kepanikan akibat naiknya harga telur. Karena telur sudah menjadi bagian kehidupan masakan kita. Tanpa telur, kehidupan hancur.

Fenomena harga bawang di India dan harga telur di Indonesia, adalah jendela bagi kita untuk melihat isu dan definisi kemiskinan kita. Dibalik klaim terjadi penurunan kemiskinan yang dibesar-besarkan dan jumlah kemiskinan sudah di bawah “double-digits“, Indonesia menyimpan potensi orang miskin lainnya, yang diakui pemerintah sejumlah 69 juta jiwa, yang disebut rentan miskin (Near Poor). Kelompok ini akan kembali masuk dalam katagori miskin absolut, sedikit saja terjadi gejolak harga makanan. Sebab, komposisi makanan (yang sering terkena inflasi) dalam ukuran garis kemiskinan merupakan komponen dominan.

Meskipun harga telur sudah di intervensi pemerintah sehingga mendekati harga normal, namun kita akhirnya sadar bahwa sesungguhnya kemiskinan kita tidak berubah banyak. Klaim-klaim statistik bisa jadi berbahaya sangat memabukkan, karena sesungguhnya, jumlah orang miskin dalam realitanya tidak berubah, bahkan bisa lebih buruk lagi.