Melarang kata “Pribumi”: Mengendalikan Asap, Membiarkan Api

Pribumi, orang asli, warga negara […] asli atau penduduk asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal, asli atau tulen (indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari negeri lainnya. Pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut.

Dari definisi KBBI dan Wikipedia di atas, kita tergiring untuk menggambarkan bahwa “pribumi” adalah orang yang memilliki ciri-ciri fisik yang sangat umum di suatu daerah, wilayah, atau negara. Kalau deskripsi ini masih belum jelas juga, ada baiknya kita “turun ke lapangan”. Maksudnya, kita ambilkan contoh berupa perumpamaan berikut ini.

Katakanlah di wilayah RRC sana ada kantung-kantung etnis asal Indonesia (berfisik Jawa atau Sumatera, misalnya), ada etnis black Africa (Afrika hitam), atau etnis Arabia. Mereka sudah lama tinggal di sana dan bisa berbahasa Mandarin atau Kanton. Tetapi, ciri fisik mereka tidak berubah. Nah, apakah orang yang secara fisik “tidak terlihat sebagai orang Tiongkok” itu harus berkeberatan ketika orang Tiongkok (Tionghoa) penduduk asli RRC menyebut diri mereka “pribumi”, sebaliknya menyebut kita, pendatang, “non-pribumi”?

Apakah penduduk asli Tiongkok yang menyebut diri mereka “pribumi”, menjadi masalah besar bagi “kita” yang telah puluhan tahun tinggal di RRC?

Tentu tidak perlu mempersoalkan itu. Sebab, kita memiliki semua yang dipunyai warga asli Tiongkok. Kita punya paspor RRC, punya sertifikat tanah RRC, bisa berniaga bebas, dan bisa menjadi konglomerat, dlsb. Apakah perlu meminta agar Presiden RRC membuatkan Inpres yang melarang penggunaan kata “pribumi”? Apakah kita akan mendesak Kongres Rakyat (DPR) RRC agar membuatkan UU yang menghapus penggunaan “pribumi”?

Pastilah sangat “absurd”. Konyol, tak ada gunanya.