Memahami Mahluk Bernama “Perang Asimetris”

Sekarang kita dibalik. Permisalan pola smart power dicermati melalui urutan skema, tema dan isu. Adalah kerjasama Indonesia-Malaysia bidang geologi di wilayah perbatasan. Ini cuma open agenda, sedangkan hidden agenda yang merupakan SKEMA kolonial yakni ‘pencaplokan’ SDA milik Indonesia oleh Malaysia.

Tak kurang, Dikdik Pribadi, Kepala Bidang Program dan Kerjasama Badan Geologi Kementerian ESDM di Nunukan, Sabtu malam (15/6/13) mengungkapkan, kerja sama ini merupakan program pemerintah Indonesia yang “interstate” bahwa di wilayah perbatasan cukup banyak potensi alam yang perlu dikelola bersama antara Indonesia dengan Malaysia, meliputi geologi correlation (korelasi geologi), bidang kebencanaan yang disebabkan faktor geologi, ground water(air tanah) dan geologi resources (sumber daya geologi).

Saat ini, kerjasama itu telah mengarah pada tahap eksplorasi. Luar biasa! Selanjutnya keniscayaan tema yang bakal diangkat ialah perjanjian bilateral, atau Memorandum of Understanding (MoU) para pihak, dll.

Mari cermati isu yang kelak akan ditebar dan dimunculkan. Kemungkinan besarperihal (isue) keterbatasan dana pemerintah, minimnya teknologi explorasi, kurangnya tenaga ahli di Indonesia, dan sebagainya.

Pertanyaan timbul: bukankah UUD menyuratkan bahwa bumi, air dan segala isi yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan digunakan sepenuhnya demi kemakmuran rakyat (Indonesia)? Kenapa yang dimakmurkan justru kedua negara sesuai isyarat pejabat ESDM tadi?

Isyarat Bung Karno di awal kemerdekaan dulu mutlak disimak, bahwa berbagai tambang yang dimiliki bangsa Indonesia tidak usah terburu dieksploitasi sampai bangsa Indonesia memiliki tenaga ahli yang cukup untuk mengelolanya sendiri.

Agaknya hal inilah yang diabaikan banyak elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Entah sampai kapan. Ketika masalah pertambangan kian berkembang, ternyata bukan hanya soal tenaga ahli, namun yang mutlak dicegah adalah monopoli kawasan tambang oleh segelintir perusahaan-perusahaan asing difasilitasi oleh segelintir elit negeri. Inilah yang kini terjadi. Kembali pada kerjasama geologi Indonesia Malaysia di perbatasan, maka sudah selayaknya dirumuskan kembali pada tataran kebijakan yang lebih tinggi guna mengkontra asymmetric warfare oleh Malaysia di perbatasan: BATALKAN. Tak bisa tidak. Mumpung belum berlarut seperti kasus Freeport, Blok Mahakam dan banyak lagi Blok tambang yang kontrak karyanya terus menerus diperpanjang dengan alasan sumberdaya (manusia, uang dan teknologi) Indonesia belum mampu.