Memahami Mahluk Bernama “Perang Asimetris”

Berikut akan digambarkan sepintas terkait perbandingan budget seperti disinggung pada awal tulisan ini. Pertanyaannya: apakah peperangan asymmetric lebih murah dari aspek biaya daripada symmetric warfare? Memang belum ada studi ataupun belum ditemui data perbandingan secara spesifik. Alasan pokok kenapa trend kolonial sekarang bergeser dari hard power ke smart power, salah satu urgensinya karena perang non militer dinilai lebih murah daripada hingar-bingar hard power yang belum tentu menjamin kemenangan, sebagaimana kegagalan militer AS dan sekutu sewaktu menginvasi Afghanistan dan Irak.

Selanjutnya arti murah disini bukan bermakna rendahnya cost, atau tak banyak budget dalam menjalankan peperangan non militer, bukan itu maksudnya.

Olah smart power yang cenderung non kekerasan —manuver tanpa asap mesiu— tampaknya lebih favorit di mata kaum kolonial di tengah gaduh demokrasi, HAM dan isue-isue lingkungan. Hal yang perlu dicermati pada kancah peperangan asimetris —sebenarnya perang simetris pun demikian— adalah kuat dan berperannya (pemanfaatan) media massa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam geliat konstalasi, terutama para LSM dan media (mainstream) yang berafiliasi kepada asing.

Maksud afiliasi disini selain memiliki link up ke luar, khususnya kelompok LSM tertentu yang memperoleh gelontoran dana dari asing. Itu alasan utama. No free lunch. Entah sponsornya negara, LSM donor, person, lembaga internasional, dll maka sinyalir kiprah LSM dimaksud niscaya tak lagi netral manakala mengemban aspirasi (rakyat), sebaliknya mungkin akan sarat (pesanan) kepentingan dari pihak sponsor (Silahkan baca: Indonesia Diserbu! http://www.theglobal-review.com). Ciri menonjol lain yang mutlak diwaspadai, bahwa LSM dan media di atas memiliki kecenderungan menghadapkan —kalau tidak boleh disebut mengadu domba— antara pemerintah versusrakyatnya melalui “kompor” media massa, sehingga pesan yang disampaikan cenderung mengeksploitasi benih-benih ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan yang diterbitkan, ataupun kegagalan serta penyimpangan program-program pemerintah.

Secara lebih detail, merujuk hasil diskusi terbatas GFI (19/9), pimpinan Hendrajit, pihak LSM sengaja menciptakan isue untuk djadikan agenda. Kemudian agenda berubah program dan ujungnya (proposal) proyek. Tapi ini mekanisme intern, tak dibahas dalam catatan ini.

Kembali ke topik smart power. Dalam tataran ISUE misalnya, tidak sedikit LSM yang didirikan, atau media online tertentu di-launching hanya untuk melayani kepentingan asing melalui menyebarkan isue guna membentuk opini publik. Atau seringkali isue dihembuskan melalui “sosok ciptaan”, kemudian sosok tersebut diherokan berbagai media seakan-akan (dicitrakan) berani melawan hegemoni Barat padahal justru ia sendiri bekerja untuk kepentingan Barat. Inilah false flag operation yang tidak disadari banyak elemen bangsa-bangsa di dunia (Baca juga: Edward Snowden dan Operasi Bendera Palsu, http://www.theglobal-review.com).