Memahami Mahluk Bernama “Perang Asimetris”

Gejolak politik (Arab Spring) di Jalur Sutera dan gerakan reformasi di Jakarta dekade 1998-an adalah contoh aktual atas implementasi tersebut. Meski samar namun toh terbaca. Mana sinergi, siapa berpola tunggal. Siapa duluan, pihak mana yang mengakhiri, dll.

Ketika Ben Ali jatuh, atau terjungkalnya Abdullah Ali, Pak Harto dan Mobarak dari kekuasaan misalnya, itu jelas olah smart power atau asymmtric warfare, karena skema kolonial Barat dapat tertancap di Tunisia, Yaman, Indonesia dan Mesir tetapi tanpa ada letusan peluru tanpa tercium bau mesiu. Sedangkan keroyokan militer AS dan sekutu di Irak (2003) serta Afghanistan (2001) merupakan kerja symmetric warfare atau hard power, kendati langkah awal peperangan di kedua negara —langkah awal saja— mengikuti pola-pola smart power.

Misalnya, isu Afghanistan tentang teroris al Qaeda, sedang stigma di Irak perihal senjata pemusnah massal. Agaknya peristiwa di kedua negara (Irak dan Afghanistan), agak berbeda dengan kasus di Libya (2011). Tumbangnya Gaddafi dari tampuk kekuasaan jelas merupakan olah sinergi antara hard power dan smart power. Artinya tatkala smart power dianggap gagal, maka gerakan massa melalui isue demokrasi dan pemimpin tirani diubah seketika bahkan tata cara (kadar)-nya ditingkatkan menjadi perang sipil, dimana para pemberontak justru dilatih, disupply dan dibiayai oleh Barat (Baca: Memahami Sinergi antara Hard dan Smart Power di Libya, di www.theglobal-review.com dan beberapa analisis lainnya di web GFI).

Secara kasuistis, pola peperangan di Libya identik dengan konflik di Syria. Tak jauh beda. Ada kemiripan urut-urutan eksekusi. Misalnya, gagal menggusur Presiden Bahsar al Assad via gerakan massa, pihak Barat menaikkan kualitas “tema” melalui perang sipil. Arab Spring dalam perspektif asymmetric warfare memang hanya sebatas tema. Sementara ketidaksamaan pola dalam perang di kedua negara tadi sejatinya bukan pada isu dan stigma semata, tetapi juga soal resolusi PBB. Dengan kata lain, bila tebaran isue di Libya soal kepemimpinan tirani, demokrasi, pelanggaran HAM dan lainnya, sedang stigma melekat di Syria tentang sektarian, senjata kimia, dll.

Lebih jeli lagi memotret perbedaannya, jika isue di Libya mampu menerbitkan resolusi PBB bagi NATO untuk menggempur Gaddafi secara legal, sementara isue dan stigma di Syria —hingga tulisan ini diterbitkan (25/9/2013)— belum mampu mengunduh resolusi secuilpun sebab senantiasa dijegal oleh veto Cina dan Rusia (Baca: Mencermati pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, dan silahkan baca juga: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, di web GFI www.theglobal-review.com).