Memahami Mahluk Bernama “Perang Asimetris”

Pertanyaan lagi: apakah pelembagaan isu, tema dan skema tersebut tanpa biaya? Tentunya tidak. Dalam asymmetric warfare yang melanda Indonesia di bidang tembakau misalnya, kampanye (penyebaran isu) anti rokok yang dikeluarkan Bloomberg Initiative relatif besar.

Ini sebagian kecil datanya: (1) Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS 2009-2010; (2) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS 2008-2010; (3) Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS 2008-2010; (4) Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS 2008-2010; (5) Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS 2009-2011; (6) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS 2008-2010; (7) Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS 2010-2012, dan lain-lain.

Data soal pendanaan untuk pelembagaan isue-isue di atas, belum termasuk fatwa haram merokok yang konon juga tidak gratis. Sesuai dokumen GFI dalam pernyataan sikapnya (5/7/20120), ternyata Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menerima USD 45.470. Luar biasa! (Baca: Pernyataan Sikap Global Future Institute (GFI) tentang Upaya Asing Hancurkan Industri Rokok dan Petani Tembakau di Indonesia, http://www.theglobal-review.com). Dari data-data ini dapat dibaca, bahwa salah satu serangan asimetris asing —baru salah satu lho, banyak sektor lainnya— terhadap perekonomian Indonesia sesungguhnya ‘satu komando’ dan sistematis karena melibatkan lintas elemen bangsa di internal negeri. Mereka tahu, atau pura-pura tidak tahu sebab turut menikmati? Bukankah secara koridor, aktivitas ICW di luar ranah kampanye anti rokok? Ada alasan pembenar memang, bahwa gelontoran dana tersebut dikemas dalam paket kampanye good governance terkait transparansi dan akuntabilitas pemerintah soal kebijakan tembakau (Baca: Heboh RPP Tembakau: Monster Kebohongan Versus Kepentingan Nasional RI, http://www.theglobal-review.com).

Analisa Karen Brooks mungkin dapat dijadikan rujukan akhir untuk menyudahi bahasan tentang asymmetric warfare ini. Ia mengisyaratkan, bahwa Arab Spring di Mesir sejatinya belajar dari aksi-aksi massa di Jakarta era 1998-an yang berujung ambruknya rezim Orde Baru. (Baca: Karen Brooks, Indonesia’s Lessons for Egypt, 17 Februsari 2011, http://www.cfr.org/indonesia/indonesias-lessons-egypt/p24156).

Agaknya telaahaan Brooks, disamping informatif, inspiratif, juga mutlak ditelusuri terkait perkembangan situasi dulu, kini dan kedepan. Maknanya sudah jelas kok. Ketika Arab Spring dalam kajian ini dinilai sebagai asymmetric warfare yang digelar oleh Barat di Jalur Sutera, bukankah pola NED sewaktu menggoyang Mesir justru meniru pola gerakan reformasi di Jakarta? Tampak tidak begitu sulit jika berniat membuka kunci tabir lengsernya Pak Harto dulu. Ya. Bahwa gelombang reformasi yang melanda Indonesia beberapa tahun lalu sebenarnya merupakan pagelaran peperangan non militer yang dijalankan Barat dengan difasilitasi oleh lakon lokal dan dibantu elemen-elemen internal di republik ini, berbahan isu Anti-Korupsi, Anti-Kolusi, Anti-Nepotisme (Anti-KKN) yang ketika itu marak terjadi (sekarang justru lebih marak lagi). Sadarkah kita?

Demikianlah gambaran sederhana tentang apa dan bagaimana asymmertic warfare itu berlangsung. Contoh dan permisalan mungkin ada yang tidak detail, kurang lengkap, atau kurang menggigit, dll. Silahkan cari dan analogkan sendiri pada hal lain. Yang ingin penulis tekankan, bahwa peperangan non militer bukanlah domain negara miskin, atau semata-mata ‘milik’ kaum lemah, atau kelompok marginal, guna melawan golongan dan negara yang lebih kuat daripadanya, sebagaimana ilustrasi di awal tulisan soal geliat OTK dan al Qaeda. Bukan! Tidak begitu. Akan tetapi seperti halnya peperangan konvensional yang memakai kekuatan militer, perang non militer juga sebuah “sistem” dalam peperangan, hanya sifat dan karakter pertempurannya selain tanpa asap dan letusan peluru juga spektrum serta medan perangnya sangatlah luas. Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

Penulis: M. Arief Pranoto (Penulis adalah  Research Associate Global Future Institute (GFI)

SOURCE LINK

https://m.eramuslim.com/resensi-buku/167492.htm