Pasien Positif Corona, Jumlah Terdeteksi Atau Jumlah Kemampuan Mendeteksi?

Fenomena ini memang sulit penulis pahami jika menggunakan asumsi bahwa kesembuhan dan kematian karena faktor tindakan medis yang diambil terhadap pasien positif corona.

Apakah karena jumlah pasien positif corona Indonesia yang hanya 0,83 persen dari jumlah pasien positif corona di Amerika Serikat sehingga petugas kesehatan bisa lebih fokus dibanding petugas kesehatan Amerika Serikat? Penulis tidak tahu dan tidak berani juga menyimpulkan demikian.

Penulis tidak tahu dan tidak berani menyimpulkan demikian karena semua orang mengetahui bahwa sumber daya kesehatan Amerika Serikat jauh lebih baik dibanding sumber daya kesehatan Indonesia, bahkan ada yang mengatakan sumber daya kesehatan Amerika Serikat adalah yang terbaik di dunia.

Fenomena lain yang juga sulit dijelaskan adalah jumlah pasien positif corona Indonesia yang jumlahnya ‘hanya’ sekitar 0,83 persen saja dibanding jumlah pasien positif corona Amerika Serikat yang sudah mencapai lebih 215.000 (dua ratus lima belas ribu) orang.

Faktor apa yang menyebabkan penularan cirus corona sedemikian besarnya di Amerika Serikat dibanding Indonesia padahal beberapa realitas dan kebijakan yang diambil kedua negara hampir mirip. Sudah beberapa waktu penulis mencoba mencari jawaban atas fenomena ini namun belum ketemu juga jawaban yang memuaskan.

Kalau ada pembaca budiman yang bisa menjelaskan, penulis akan sangat berterima kasih sekali.

***

Sampai disini, saat menelusuri dunia maya untuk mencari data sumber daya kesehatan yang dimiliki Indonesia dan Amerika Serikat, dibenak penulis timbul dua pertanyaan menggelitik.

Pertanyaan pertama. Apakah Amerika Serikat mampu mendeteksi sampai 215.000 (dua ratus lima belas ribu) warganya yang positif terinfeksi virus corona sebagai pasien positif corona karena sumber daya kesehatannya yang sangat maju dan budaya kesadaran masyarakatnya untuk memeriksakan diri jika memiliki gejala terinfeksi virus corona sangat tinggi?

Pertanyaan dedua. Apakah Indonesia hanya mampu mendeteksi sampai 1.790 (seribu tujuh ratus sembilan puluh) warganya yang positif terinfeksi virus corona sebagai pasien positif corona karena sumber daya kesehatan Indonesia yang terbatas dan budaya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri jika memiliki gejala terinfeksi virus corona yang rendah, atau memang karena memang begitu realitas jumlah pasien positif corona sebenarnya?

Penulis tidak bisa menemukan dan memberikan jawaban pasti atas dua pertanyaan diatas. Namun ada satu pertanyaan lagi yang muncul di benak penulis dan ingin penulis tanyakan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dari sisi Keterbukaan Informasi Publik sebagai mana diatur dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informas Publik.

Kedua pertanyaan diatas ini semakin menggelitik rasa ingin tahu penulis setelah penulis membaca pernyataan dari dua pejabat resmi negara yaitu Gubernur DKI Jakarta saat rapat virtual dengan Wakil Presiden Republik Indonesia, Rabu (1/4) dan siaran pers Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono, pada hari yang sama.

Divisi Humas Mabes Polri menyampaikan bahwa ada sekitar 300 (tiga ratus) siswa Sekolah Pembentukan Perwira Setukpa Lembaga Pendidikan Polri (Setukpa Lemdikpol) Sukabumi, Jawa Barat hasil rapid tes dinyatakan terpapar Covid-19, walaupun belum bisa dinyatakan sebagai pasien positif corona.

Gubernur DKI Jakarta melaporkan kepada Wakil Presiden bahwa ada 401 (empat ratus satu) orang di DKI Jakarta yang telah meninggal dan dimakamkan dengan protap pemakaman pasien positif corona, walaupun tidak semuanya sebelum meninggal sudah dinyatakan sebagai pasien positif corona.

Rasa ingin tahu yang begitu menggelitik penulis adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada Jurubicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Apakah jumlah pasien positif corona yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 merupakan jumlah orang yang terdeteksi atau jumlah orang yang hanya mampu terdeteksi oleh sumber daya kesehatan Indonesia? (end/glr)

Penulis: Hendra J. Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI