Pendaki Gerung

Saya mengagumi Sentul.

Pemandangan masih terus indah di kawasan yang terus menanjak dan berkelok. Terlihat banyak kastil megah di kawasan ini. Lalu masuk kampung lama. Jalan menyempit. Berliku. Menanjak. Rumah, toko, dan warung berimpitan. Mendung hitam menggelayut di langit. Saya mulai khawatir hujan.

Setelah melewati dua persimpangan di jalan sempit itu inilah dia tebing itu. Yang jadi rumah Rocky Gerung itu. Beberapa mobil terlihat parkir di pinggir pagarnya. Berarti lagi ada tamu. Berarti tuan rumah lagi di tempat.

Di ujung pagar itu tertancap papan pengumuman. Kelihatannya masih baru: tanah ini milik Sentul City. Sebangsa itulah. Lengkap dengan pasal-pasal hukuman bagi pelanggarnya.

Saya parkir di sebelah papan itu.

Tentu rumah Rocky tidak terlihat dari pinggir jalan. Harus masuk pagar itu dulu. Pintu pagarnya tertutup. Tidak terlihat ada kehidupan. Saya geser pintu itu. Tidak dikunci.

Di balik pintu itulah mobil setengah tua menyapa. Warna catnya gelap. Saya amati mereknya: Suzuki Escudo. Saya amati modelnya: edisi tahun 2003.

Di balik pagar itulah tebing. Curam. Tanah yang datar ya hanya sebatas yang ditempati Escudo itu. Selebihnya tebing. Jalan menuruninya setapak. Batu. Untuk ke ”situ” harus ke ”sana” dulu. Zig-zag. Agar anak tangga batunya tidak terlalu curam. Lalu jalan setapak yang curam itu bercabang: terserah mau lewat cabang yang mana.

Seseorang muncul dari balik rerimbunan yang menutupi jalan setapak itu. Ia-lah yang memberi tahu: boleh lewat yang mana saja. Itu hanya cabang pilihan: ke kiri agak jauh tapi lebih landai, atau ke kanan tapi curam. Saya pilih yang landai. Saya menyesuaikan diri dengan amal perbuatan. Saya hitung: ada 45 anak tangga untuk sampai ke rumah Rocky.