Pelangi Retak (Bag. 1)

PENGGALAN 1

Suatu pagi di sebuah sudut ibukota yang buram

Muram

Berselimut jelaga hitam

Sebuah potret pagi yang terperangkap miris

Mengiris

Ditingkahi gerimis

Rintik dan begitu ritmis…

Menyapa sudut hati yang tersipu…

Tuhan… cinta macam apalagikah yang kini menyapaku?

Suatu pagi di sebuah sudut ibukota yang buram. Muram. Berselimut jelaga hitam. Sebuah potret pagi yang terperangkap miris. Mengiris. Bukan karena sepi. Tapi nyaris tanpa pelangi.

BE CAREFUL WITH A WOMAN!!

Kakiku mengejang. Ruangan apa ini? Kenapa pula tulisan tak bermutu itu terpampang dengan angkuhnya di dinding bercat elegan ini? Huruf-hurufnya yang tercetak tebal semakin menambah keangkuhannya. Seakan ingin memberitahuku bahwa dialah yang berkuasa di sini. Tidak! Bukan tulisan itu yang berkuasa, tapi orang yang memasangnya di sana. Perlahan kuatur desahan nafasku yang lebih cepat dari biasanya.

Aku mengurungkan niat untuk duduk ketika sebuah suara bariton menyapaku dengan sangat tidak ramah. Tepat di belakang telingaku.

“Anda siapa?” tanyanya kasar. Sebenarnya aku ingin segera menoleh dan melihat seperti apa bentuk orang yang menyapaku itu. Tapi otakku berhasil menahan gerakan tubuhku.

Ah, dia pasti manajer departemen ini. Bukankah kata pak satpam tadi hanya manajer dan asistennya yang boleh memasuki ruangan ini. Huhh! Kalau dia memang manajerku, mana betah aku di sini. Orangnya pasti galak dan amat sangat tidak menyenangkan. Dari suara beratnya aku bisa membayangkan tubuhnya yang tinggi besar dengan perut agak buncit hingga jasnya terkesan kekecilan dan hampir tak cukup di tubuhnya. Belum lagi kumis hitam tebal yang melintang di atas bibirnya akan menambah seramnya wajah itu.

“Saya karyawan baru di sini, Pak…” ujarku setenang mungkin setelah menyudahi pengembaraan imajinasiku. Kuputar tubuhku pelan mengikuti irama kalimatku. Aku yakin manajer itu sudah menangkap kegugupanku.

Tiba-tiba memoriku seperti berbalik. Seretonin di otakku mengalami penipuan besar-besaran. Ternyata…pemilik suara itu hanya seorang laki-laki bertubuh kurus, pendek. Kukatakan pendek karena badannya tak jauh lebih tinggi dariku. Tak berkumis seperti yang kubayangkan sebelumnya. Juga tak memakai jas seperti manajer pada umumnya. Kulit putihnya hanya terbalut kaos berkerah dengan bawahan celana jins yang sudah agak pudar warnanya. Satu kelebihannya kukira, yaitu rambutnya yang mengkilat karena mungkin terlalu banyak diminyaki. Mungkinkah dia manajerku? Ah…jangan-jangan aku salah orang!

“Oooh…Anda berani sekali. Siapa yang menyuruh Anda masuk ke ruangan ini!”

Hii…bulu kudukku bergidik. Suaranya masih terdengar keras. Marahkah dia?

“Security yang mengantarkan saya ke sini, Pak. Dan…saya membawa surat pengantar dari bagian personalia… tadi kebetulan bapak belum datang. Jadi… saya langsung masuk…” Suaraku terbata-bata. Bodoh! Kenapa aku mesti takut? Toh, dia juga manusia. Bahkan wajahnya tak menakutkan sedikitpun.

“Oh ya..? Memangnya apa posisi Anda di kantor ini?”

Aku benci tatapannya yang terkesan mengejekku. Apalagi gerakan alisnya yang sedikit terangkat seakan memandang rendah orang yang diajaknya bicara. Sebenarnya aku ingin menjelaskan lebih banyak lagi tapi suaraku tertahan di kerongkongan. Kalau dia tidak menghargaiku, untuk apa aku menghargainya?

Hanya tanganku yang kemudian bergerak cepat membongkar isi tasku dan menyerahkan surat panggilan kerja yang kuterima dari perusahaan ini seminggu yang lalu. Berikut selembar surat pengantar dari Human & Resources Department yang kudapatkan tadi pagi.

“Oh… IT Asisstant Manager? Jadi Anda yang akan jadi asisten saya? Kapan Anda menjalani tes masuk?”

“Sebulan yang lalu, ” jawabku pendek. Sebenarnya aku enggan menjawab pertanyaannya. Hatiku semakin kesal dengan tatapannya yang menyebalkan.

“Sepertinya Anda salah prosedur!”

Hahh? Aku terperanjat.

“Maksud… ba…pak?” tanyaku gugup.

“Tidak… santai saja! Saya tidak akan memecat Anda hanya karena Anda lancang memasuki ruangan ini tanpa seizin saya.”

Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia berjalan menuju kursinya dengan santai. Duduk di sana dan dengan santai pula dia memutar kursinya seakan memamerkan padaku betapa empuknya kursi itu. Kejam sekali. Hingga detik ini dia belum menyuruhku duduk. Rasanya lututku sudah tak mampu lagi menyangga beban tubuhku.

“Tapi ya, sudah. Tidak usah dipikirkan. Kelancangan Anda saya maafkan. Anda sudah diterima, kan? Jadi… saya ucapkan “Selamat Datang” di kantor ini. I T Department.”

Begitu formalnya dia mengucapkan kalimat itu hingga membuatku risih. Entah sudah semerah apa pipiku saat itu. Lancang? Ah, baru kali ini aku dikatakan lancang oleh seseorang. Atasan baruku lagi. Memalukan! Atau justru manajer itulah yang sebenarnya tak punya perasaan?

“Ok! Anda staf baru. Saya juga manajer baru di Departemen ini. Sebulan yang lalu, saya masih menduduki posisi anda sebagai asisten manajer. Anda tahu, enam bulan pertama adalah masa percobaan. Dan selama masa percobaan Anda hanya akan menerima 50% dari gaji Anda. Kalau Anda tidak menunjukkan prestasi, maka bersiaplah untuk tidak mendapatkan gaji sama sekali. Tapi saya percaya, anda tipe pekerja keras.”

Ah, sok tahu. Aku hanya diam saja mendengar ocehannya yang kuanggap tidak bermutu. Toh, kemarin aku sudah mendengarnya dari HRD.

“Ok! Untuk hari pertama, anda belum boleh menyentuh apapun di ruangan ini. Bisa meledak nanti! Jadi, biar saya yang bekerja.”

“Mak…sud Bapak?”

Bodoh! Kenapa aku mesti gugup lagi?

“Mm…ternyata saya harus menggunakan bahasa anak kecil untuk membuat Anda mengerti. Maksud saya… Anda tidak usah bekerja! Anda tinggal melihat apa yang saya kerjakan. Catat baik-baik di otak Anda! Itu latihan sebelum Anda benar-benar menangani sistem IT di sini! Ok?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa selain mengangguk. Tumitku sudah semakin nyeri. Tak sabar rasanya menunggu manajer aneh itu menyuruhku duduk.

(bersambung)

Tentang Penulis:
Dewi Anjani, lahir pada 20 September 1985, dengan latar belakang pendidikan S1 Akuntansi Unibraw. Status menikah dan dikaruniai seorang puteri. Prestasinya di bidang penulisan antara lain; Nominasi lomba cerpen Direktorat Kepemudaan tahun 2004, cerpen dibukukan dalam Antologi “dari Zefir hingga Puncak Fujiyama”, CWI, Jakarta. Nominasi lomba cerpen UNISBandung tahun 2005 dan dibukukan dalam Antologi “Dilarang Menangis”, Bandung. Cerpen bersama FLP Malang dibukukan dalam antologi “Dua Pilihan”, Syaamil, Jakarta.