Pelangi Retak (Bag. 3)

PENGGALAN 2

Kuhempaskan tubuhku di kasur kos yang tak pernah terasa empuk mesti telah dijemur seharian. Penat. Lelah. Seluruh tubuhku seperti kehilangan daya. Hari pertama yang begitu menguras semua persediaan energi yang kusiapkan dengan sepiring pecel dalam sarapanku tadi pagi. Sore ini, aku tidak tahu apakah besok aku masih punya alasan atau pun sisa keberanian untuk menginjakkan kakiku di kantor itu lagi.

Hhh!!! That’s life! Entah sudah berapa tahun terakhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktuku di luar rumah. Bahkan, sebelum Subuh pun kadang aku sudah harus berangkat untuk menghindari kemacetan. Dan hari ini…tanpa kusadari, dua belas jam waktuku kuhabiskan di kantor. Berangkat jam delapan pagi. Tiba di rumah jam delapan malam. Tapi apa yang kudapat? Kenalan baru yang menyebalkan. Suasana yang begitu gerah dan cukup membuat jalinan syaraf di otakku berpilin tak karuan. Semoga saja migrain-ku tidak kambuh. Kalau penyakit lamaku itu datang lagi… berarti aku akan kehilangan waktu istirahatku malam ini.

Mataku telah terpejam. Tapi rasanya, banyak hal singgah di pikiranku tanpa kuminta. Padahal, saat ini otakku tak mau kuajak berpikir lagi. Ah, satu kemampuanku hilang. Biarlah. Untuk sementara tak apa kukira. Asal aku tak kehilangan dua kemampuanku yang lain. Kemampuan emosi dan spiritual… Sebenarnya aku ingin segera tidur. Sepulas-pulasnya. Tanpa sebutir mimpipun berani menyapa. Tapi, upps! Aku belum salat Isya.

***

Paginya aku merasa seluruh tubuhku dihinggapi ngilu. Faringitisku juga tak mau kompromi. Penyakit yang telah empat tahun terakhir ini menjadi sahabatku itu pasti selalu datang kalau aku kelelahan. Ah, kutatap jam dinding. Masih menunjukkan angka dua belas. Busyet!! Kenapa pula benda penunjuk waktu itu marah padaku. Kenapa dia harus mogok kerja saat aku sangat membutuhkan bantuannya? Mana tidak punya persediaan baterai lagi! Akhirnya aku hanya bisa marah pada diriku sendiri. Kenapa mesti lupa mengganti baterainya. Tapi kemudian aku tersenyum…kuusap debu yang menempel di permukaan benda mungil itu. Benda yang jujur dan setia. Bahkan, di saat mati pun, dia masih bisa menunjukkan angka yang benar meski hanya dua kali dalam sehari.

Sedang aku? Bayangan suasana kantorku kemarin terpampang dengan jelasnya. Betapa tak satupun pekerjaan yang kulakukan bernilai “benar” di mata atasanku.

Ah, lagi-lagi aku melakukan kebodohan. Aku terlonjak ketika sebuah semburat merah kekuningan menyapa daun jendela kamar. Segera aku meloncat dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Melaksanakan salat Subuh dengan tergesa-gesa dan perasaan gundah karena terlambat sekali…matahari sudah tersenyum lebar saat itu. Aaah!! Malas rasanya berangkat ke kantor lagi. Aku gagal menemukan alasan untuk bisa memaksa kakiku kembali melangkah ke tempat yang sama.

Siemensku berdering. Sederet nomor tak kukenal terpampang di layar mungilnya.

“Assalamu’alaikum…”

“Pagi! Saya atasan anda. Hanya ingin mengingatkan agar anda datang lebih awal pagi ini. Ada banyak data yang harus di back-up, dan untuk hari ini, itu menjadi tugas anda. OK! Thank you…”

Telepon ditutup. Tanpa salam. Dasar!! Kalau memang mau ngirit pulsa kenapa tidak dengan sms saja. Praktis. Tidak usah pakai salam. Tidak perlu meminta pernyataan setuju dari lawan bicara. Tidak perlu memperdengarkan suara baritonnya yang lebih mirip suara kok…dan tentu saja tidak perlu menyakitiku karena aku merasa tidak dihargai sedikitpun.

Semenit kemudian, pintu kamarku diketuk orang…

“Rien…! Telepon…” teriak suara di luar sana dan segera kujawab dengan langkah cepat menuju telpon.

“Halo, manis… Assalamu’alaikum…”

“Waalaikumsalam. Eh, Hilma! Gimana?”

“Lho kok? Emang kamu baru bangun ta? Atau mungkin masih mimpi. Seharusnya aku yang nanya dong! Gimana first day-nya di PMM? Pasti menyenangkan.”

“Nggak. Nggak sama sekali!!!”

“Lho? Ini Lili, kan? Rienita Vilyastuti…”

“Hilma! Apa-apaan sih? Ya jelas, ini aku. Rienita Vilyastuti.”

“Tapi…kamu kenapa, sobat? Aku kok seperti bicara dengan orang lain ya? Bukan Lili yang biasanya selalu lembut dan selalu tersenyum. Ciee...”

“Kenapa, nada bicaramu kasar sekali, Li? What happen with you, honey?”

“Ceritanya panjang, non! Dan sepertinya aku nggak bisa cerita sekarang. Aku harus berangkat lebih awal. Pekerjaanku numpuk hari ini.”

What?? Ini kan baru hari kedua kamu bekerja, Li? Sepadat itukah? Sulit dipercaya. Pasti ada sesuatu.”

“Hil…sori, ya! Aku harus segera…”

“Ok, OK… tapi kamu nggak pa-pa kan manis?”

“Nggak pa-pa kok! Maafin aku, yah! Aku lagi nggak mood hari ini.”

“Mmm… ya udah deh! Met, kerja, ya! Ingat, bahwa sesuatu yang kita mulai dengan penuh kesulitan akan membuahkan sesuatu yang lebih memuaskan. Dan…jangan lupa, tetap jadi Lili yang selalu semangat dan always smile… Ok, have a nice day, sobat!”

“Thanks ya…makasih banyak supportnya.”

Aku tidak tahu bagaimana dengan tiba-tiba aku beranjak ke kamar. Mengganti baju tidurku dengan pakaian kantor dan bergegas berangkat. Kata-kata Hilma menohokku. Dan aku menjadi tertantang untuk terus melalui jalan berliku ini.

***

“Pagi… selamat datang di PMM!”

Manajer aneh itu masih seperti kemarin. Dengan rambut tersisir rapi dan kaos berkerah. Bukan kemeja. Bawahannya masih juga celana berbahan jins. Tapi kaos dan celana itu bukan celana yang kulihat kemarin.

Hmm… rajin juga dia berganti pakaian, pikirku.

“Pagi, Pak! Terima kasih atas sambutannya, ” susah payah aku mencari nada ramah dalam suaraku meski akhirnya kutemukan juga. Selerat senyum tipis kupaksakan menggantung di bibirku.

“Gimana? Masih betah di sini?”

“Mm…ya, Pak. Akan saya usahakan, ” jawabku berat.

“Saya sudah print semua flow chart dan arsip desain sistem perusahaan ini. Silahkan anda pelajari. Selamat memulai pekerjaan Anda. Jangan sungkan bertanya apabila memang benar-benar tidak tahu. Jangan sembarangan… Ok?”

Aku hanya mengangguk. Setumpuk berkas sistem telah tertata rapi di mejaku. Dan aku boleh sedikit gembira karena hari ini aku mulai benar-benar diperbolehkan bekerja sesuai profesiku. Dunia sistem informasi!

(bersambung)

Tentang Penulis:
Dewi Anjani, lahir pada 20 September 1985, dengan latar belakang pendidikan S1 Akuntansi Unibraw. Status menikah dan dikaruniai seorang puteri. Prestasinya di bidang penulisan antara lain; Nominasi lomba cerpen Direktorat Kepemudaan tahun 2004, cerpen dibukukan dalam Antologi “dari Zefir hingga Puncak Fujiyama”, CWI, Jakarta. Nominasi lomba cerpen UNISBandung tahun 2005 dan dibukukan dalam Antologi “Dilarang Menangis”, Bandung. Cerpen bersama FLP Malang dibukukan dalam antologi “Dua Pilihan”, Syaamil, Jakarta.