Pelangi Retak (Bag. 6)

PENGGALAN 3

Hilma sudah berbaring manis di kamar kosku ketika aku pulang sore itu. Senyum centilnya memaksaku mengubah ekspresi wajahku yang kurasakan kering sejak tadi.

“Waalaikum salam…” serunya dari dalam kamar ketika aku langsung masuk tanpa suara.

“Assalamu’alaikum… Sorry, Hil. Kupikir nggak ada orang. Eh, kapan nyampe? Kok nggak sms dulu, sih. Tahu kamu ke sini kan aku bisa pulang lebih awal.”

“Baru sedetik yang lalu, kok!”

“Hah, dasar! Masa sedetik saja kamu udah bisa ngacak-ngacak kamarku sampai nggak karuan gini?”

“Wah… kantor barumu, hebat ya! Tiga hari saja sudah bisa mengubah seorang “Rienita” yang lembut dan murah senyum ini jadi sensitif dan paranoid! Li… di kantor kamu boleh jadi “Rienita” yang tegas, lugas dan perfeksionis. Tapi ini di rumah…jangan lupa sama karakter “Lili” yang…”

“Iya, deh. Maaf…aku kan capek. So, harap dimaklumi kalau masih bawa angin kantor ke rumah.”

“Yang capek pasti nggak hanya badanmu.”

“Kok tahu?”

“Aku kan punya indera keenam…”

“Oh, iya ya…aku lupa kalau sahabatku ini lulusan psikologi!”

“Oh, ya, setelah mandi, kamu harus cerita banyak tentang kantor barumu… Eh, mana buku barunya?”

“Belum selesai kubaca. Nih!” kulempar sebuah buku dari dalam tasku.

“Negeri Senja? Kok kamu tertarik sama buku beginian, sih? Menurut psikologi…”

Hilma terlambat melontarkan pertanyaannya. Aku sudah berada di kamar mandi saat kalimat itu selesai dibuatnya. Meski tak menjawab, tapi mau tak mau otakku berpikir juga.

Hil…aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku menyukai buku-buku seperti itu. Aku takut, Hil. Mungkinkah hari-hari yang akan kulalui nanti selalu berbingkai temaram senja seperti dunia yang dilukiskan dalam roman itu?

Ah, tidak. Skenario-Nya pasti jauh lebih indah dari apa yang pernah kubayangkan. Tidak! Aku tidak boleh pesimis. Aku tidak mau ketularan manajer angkuh itu. Baginya, hidup mungkin adalah gumpalan awan kelabu. Tapi bagiku, hidup adalah barisan pelangi. Yang melengkung indah di setiap pagi…

*****

“Mandinya kok lama, sih? Berendam ya?”

“Nggak, kok. Cuma main air…” aku tersenyum lebar. Ahh… lega rasanya bisa tersenyum selepas ini. Makanya, tersenyumlah sebelum senyum itu dilarang.

“Li! Tadi pas kamu mandi ada sms tuh!”

“Dari siapa?”

“Ya nggak tahu… mana berani aku buka. Jangan-jangan rahasia lagi. Atau mungkin tukang kredit yang nanyain tunggakanmu!”

Aku kembali tersenyum mendengar kelakar Hilma. Penasaran… cepat-cepat kubuka layar mungilku.

Rien… jangan munafik. Aku yakin, setiap orang pernah merasakan saat-saat di mana dia harus menangis dan kecewa. Hidup tak hanya pelangi, bukan? Akuilah!

Terlalu panjang untuk ukuran sebuah sms tetapi terlalu pendek untuk ukuran sebuah kalimat yang menyakitkan.

Kenapa nggak sekalian nulis surat aja untuk menyakitiku sepuas hatimu, wahai tuan manajer! Benar-benar kurang kerjaan. Dasar, sok tahu.

“Kenapa, Li?” tanya Hilma heran. Dia menangkap perubahan di raut wajahku.

“Baca sendiri, nih!”

“Dari siapa? Dari Bos?”

Mata Hilma membulat saat dilihatnya aku mengangguk. Mengiyakan pertanyaannya.

“Kok? Aku bingung, Li! Ini dari bosmu yang baru? Atau bosmu di kantor sebelumnya? Sejauh mana hubungan kalian?” Hilma mengekspresikan semua kebingungannya setelah membaca sepotong short message itu.

“Yah, begitulah. Bos baru. Orangnya unik. Angkuh. Sombong. Sok tahu. Tapi juga labil.Nggak bis kendalikan emosi.”

“Hahh? Dia sakit, Li! Kamu harus hati-hati…”

“Maksudmu?” kini giliran aku yang melongo mendengar kata-kata Hilma.

“Mm… Psikoneurosa… penyakit kejiwaan yang disebabkan karena seseorang selalu tertekan dan dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ah, benar. Ajak dia ke psikiater, Li!”

“Apa? Ngaco, kamu. Memangnya aku isterinya?”

“Lho, dia atasanmu, kan… Kalau nggak, kamu akan benar-benar ketularan. Sekarang aja, kamu udah mulai terkontaminasi.”

“Hilma!” kulempar guling ke arahnya. Anak itu kalau sudah menggoda memang keterlaluan.

“Berikan dia empati, Li! Dengarkan keluhannya. Sentuh hatinya… aku yakin kamu bisa mengubahnya menjadi pribadi yang normal. Sepertinya… dia tertarik padamu.”

“Hil, aku bukan psikolog atau psikiater. Kamu kan lebih tahu. Gimana, kalo kita tukar kantor?”

“Bisa hancur tuh jaringan sistem di PMM kalo aku yang ngurusin…” Hilma nyengir mendengar usulku yang tidak masuk akal.

“Li…”

“Hmm…”

“Kamu benci dia, ya?”

“Sangat!” tukasku mantap.

“Hati-hati lo…orang yang sangat kita benci kadang-kadang berubah jadi orang yang paling kita cintai…”

“Apa?” aku menatap Hilma tajam.

“Kok marah?” Hilma hanya tersenyum melihat reaksiku.

“Ah, udah ah! Aku nggak mau ngomongin dia lagi. Capek!”

“Li, kamu betah kan di sana?”

Ah, akhirnya Hilma menanyakan hal ini. Entah sudah untuk keberapa kalinya aku mendapatkan pertanyaan senada. Sejak kepindahanku dari Alta Mara. Sebuah perusahaan industri kaca terbesar di ibukota. Tempatku dan Hilma pertama kali bekerja setelah lulus kuliah. Aku sendiri sudah pindah tiga kali. Sedangkan Hilma… masih bertahan di sana. Kemampuannya di bidang psikologi industri mengantarkannya ke kursi manajer personalia perusahaan itu.

Perusahaan kedua yang kumasuki adalah sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang produksi barang-barang convenience. Di sana aku bertemu dengan atasan yang suka berganti-ganti wanita. Entah sudah berapa kali aku membohongi isterinya untuk menyembunyikan perselingkuhan suaminya.

Perusahaan ketiga yang menerimaku adalah perusahaan real estate ternama. Sebenarnya aku senang bekerja di sana. Bisa belajar banyak tentang arsitektur dan memanjakan mataku dengan beragam model rumah yang unik dan cantik. Tapi manajerku yang bukan main genitnya selalu membuatku pusing tujuh keliling. Kerjaannya tiap hari hanya berdandan dan tidak hentinya menghina jilbabku yang menurutnya tidak modis sama sekali.

“Li, kenapa diam? Kamu nggak betah ya?”

“Entah. Aku sudah nyiapin surat pengunduran diri yang entah kapan akan kuberikan.”

“Jadi kamu akan keluar juga dari perusahaan itu?”

“Aku nggak bisa jawab sekarang, Hil. Terlalu dini untuk mengambil keputusan.”

“Yap. Itu baru Lili yang aku kenal. Yang lembut dan penuh pertimbangan…”

“Doakan aku, ya…”

“He-eh. Pasti…”

Hilma menipiskan bibirnya. Tangannya menggenggam tanganku erat. Seakan ingin menyalurkan sebuah kekuatan dari sana.

“Tetap tegar, yah! Aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan yang terbaik.”

“Ma kasih, Hil…”

Kami berangkulan hangat. Ah, hatiku mulai lega. Semakin aku percaya, bahwa sahabat memang anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuk kita.

(bersambung)