Kisah Ulama Murtad dan Ahli Sunnah

Betapa dahsyat akhlak keduanya. Tak ada kemarahan, tak ada kekecewaan, tak ada caci maki, tak ada bantah membantah, apalagi fitnahan, dan tudingan. Alih-alih pembunuhan.

Guru dan muridnya menyadari manusia tempat salah dan dosa. Mereka saling mengingatkan, menyadarkan, menyentuh jiwa dan hati dengan kelembutan serta kasih sayang. Berharap muncul hidayah dari Allah.

Allah pun membalikan hati sang Ulama. Hingga akhirnya kembali mendidik murid-muridnya di majlis tersebut. Masya Allah indahnya. Malu sekali mendengar kisah itu.

Elok nian kemuliaan akhlak. Alangkah gembiranya kalau akhlak mereka bisa ditauladani para Ulama, ustaz, dan aktivis dakwah di Indonesia.

Alangkah geram dan takutnya musuh-musuh Islam jika umat bersatu. Berteduh dalam satu payung bernama: ukhuwah Islamiah.

Tapi sebaliknya. Begitu senangnya musuh-musuh Islam melihat umat terkotak. Sesama ustaz saling klaim, saling balas bantahan, lalu diikuti murid-murid dan atau jamaahnya.

Belum cukup. Tak hanya bantahan di forum terbuka, tapi juga caci maki. Tudingan bidah, sesat, kafir, musrik dilemparkan dengan enteng: hanya lantaran beda amaliyah. Sesuatu yang telah dituntaskan para Imam Madzhab.

Klaimnya ahli Sunnah. Tapi akhlaknya? Hanya Allah yang mampu menilai dan menghakimi.

Owh, sayang sekali tapi. Kami terlalu taat mengikuti yang dipertontonkan. Saling tuding terlanjur mengular. Sudah merembet ke sosial media, melebar ke media massa, meluas ke kehidupan umat dan berbangsa.

Mengacak-acak ukhuwah. Merobek-robek nilai welas asih, persatuan, tepo seliro, saling memahami, saling menyayangi, saling memaklumi, yang telah dijaga para Ulama terdahulu.

Nilai-nilai substansial, kini dilupakan: Agama adalah akhlak. Hakikat malah dikubur: beragama dari dalam jiwa. Kami justru bertepuk dada baru punya hafalan ayat di luar kepala.

Kami lupa taqwa itu dari hati. Lupa, menjaga ukhuwah wajib, yang lebih utama tenimbang mengaku-aku ahli Sunnah tapi merobek ukhuwah.

Lagi-lagi kami lupa: Agama adalah akhlak. Bukan klaim-klaim sepihak. Bukan bermodal hafalan ayat-ayat dan tahu hadits ini shahih, itu dhaif, yang berikutnya palsu. Padahal akhlak dulu, sebelum ilmu.

Kajian-kajian keagamaan kian ramai di layar kaca. Kami bergairah mengejar pahala dan surga. Tapi di jalan raya, kami senang saling serobot antar pengendara. Di jalan, buang sampah seenaknya.

Kajian-kajian keagamaan sehari tiga kali kami ikuti. Tapi kami mudah mencaci. Enteng merendahkan, menghina, menuding, bahkan memfitnah. Lalu kami tak malu-malu membanggakan diri dan kelompok.

Kajian-kajian keagamaan cukup klik dari gadget, tinggal pilih tema di layar Youtube. Tapi, kami malah lihai menajamkan lidah. Membusungkan dada, menghina dina. Mudah memutus silaturahmi antar saudara.

Kami seperti Islam elektronik, beragama sudah merasa hebat, padahal hanya ngaji di Google dan layar kaca. Kami seperti melebihi para Wali. Kami asyik masyuk merasa punya kunci surga.

Kajian-kajian keagamaan makin menyeruak. Kami sangat bangga guru kami terkenal dipanggil ustaz. Kemudian dalam sekejap kami bisa murka, bila orang memanggil nama tanpa embel-embel “ustaz” di depan nama guru kami. Tak sopan.