Kisah Sejarah Pangeran Diponegoro (3)

Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.

Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.

Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.

Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.